Jayapura, Jubi – Dukungan orang-orang terdekat sangat dibutuhkan bagi korban kekerasan nonverbal untuk bangkit dari ketidakberdayaan. Mereka dapat mendampingi korban ke psikolog ataupun ke layanan bantuan hukum untuk mengatasi persoalan tersebut.
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Tong Pu Ruang Aman (TPRA) Novita Opki mengatakan kekerasan nonverbal berdampak besar terhadap psikis korban. Namun, dampak itu tidak bisa dengan mudah dilihat orang lain.
“Dampak kekerasan nonverbal sebenarnya lebih besar daripada kekerasan fisik karena mengganggu mental korban. Korban justru sering disudutkan dan disalahkan [oleh pelaku dan lingkungan sekitar],” kata Opki, Jumat (14/6/2024).
Kekerasan nonverbal dapat terjadi melalui sorotan mata, siulan, isyarat tubuh, ataupun sentuhan yang tidak diinginkan seseorang. Dalam sistem masyarakat patriarki, korban umumnya berasal dari kalangan perempuan.
Menurut Opki, kekerasan nonverbal sering dianggap lumrah oleh masyarakat, termasuk di Papua. Itu mungkin lantaran dampak kekerasan nonverbal tidak terlihat atau membekas secara fisik pada korban.
“Kekerasan ini bisa terjadi di lingkungan privat, seperti di rumah, ataupun lingkungan kantor. Korban pasti sulit berbicara atau keluar dari [mengatasi] kondisi seperti itu jika orang-orang dalam lingkup tersebut tidak mendukungnya,” kata Opki.
Dia menyarankan korban membicarakan permasalahan yang menimpanya dengan orang terdekat ataupun yang dipercayainya. Jika korban sudah bangkit kepercayaan dirinya, mereka bisa mendampinginya ke psikolog ataupun layanan bantuan hukum.
“Pemeriksaan psikologis untuk memenuhi pembuktian visum et repertum psikiatrikum. Itu dibutuhkan jika korban ingin melaporkan kasusnya ke kepolisian,” ujar Opki.
Proses pembuktian
Kekerasan nonverbal sering berhubungan dengan relasi kuasa. Pelaku memiliki posisi atau strata lebih tinggi daripada korban.
Direktur TPRA Gilbert Rumboirusi mengatakan proses hukum terhadap pelaku kekerasan nonverbal sering terbentur pembuktian. Itu membuat korban makin tidak berdaya dalam mengatasi persoalannya.
“Kondisi ini [kendala pembuktian secara hukum] biasa juga sudah dipahami pelaku sebelum bertindak. Itu membuat korban makin tidak berdaya,” kata advokat perempuan dan anak tersebut.
Menurutnya, pemahaman para penegak hukum juga masih sering bias. Mereka menghubungkan terjadinya tindakan kekerasan nonverbal dengan faktor sebab-akibat.
“Tindak pidana itu [kekerasan nonverbal] terjadi tanpa hubungan sebab-akibat. Sementara ini, [persepsi tersebut] masih terbangun di aparat penegak hukum itu,” kata Rumboirusi.
Dia juga mengingatkan institusi pemerintah maupun swasta memahami Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Itu untuk mencegah terjadinya kekerasan nonverbal terhadap pekerja mereka, terutama perempuan.
“Kalau mempekerjakan perempuan, setiap institusi harus memahami undang undang tersebut. Kalau tidak mau [memahaminya], ya jangan pekerjakan perempuan,” ujar Rumboirusi. (*)
Discussion about this post