Jayapura, Jubi – Tong Pu Ruang Aman atau TPRA, lembaga bantuan hukum khusus untuk perempuan dan anak, telah tangani 473 kasus yang diadukan di sepanjang 2023.
Kepala Advokasi TPRA, Novita Opki, sebagai salah satu pendiri TPRA mengatakan 54 persen pengaduan yang mereka terima per 2023 berasal dari perempuan asli Papua dan sisanya non Papua.
“Pengaduan yang kami terima per 2023 itu yang terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, lalu kekerasan dalam pacaran atau KDP, kekerasan berbasis gender online atau KBGO, dan kekerasan terhadap anak dalam bentuk penelantaran dan kekerasan seksual pada anak,’’ kata Opki saat diwawancarai Jubi pada Jumat (31/5/2024).
“Lalu KDP atau kekerasan dalam pacaran, pengaduannya itu setiap tahun ada, dan jumlah pengaduannya lima sampai enam pengaduan,” lanjutnya.
Opki dan rekannya, Gilbert Rumboirusi, memiliki pergumulan tersendiri dalam mendirikan TPRA. Mereka ingin advokasi terhadap permasalahan perempuan tak dibatasi status perkawinan yang tercatat secara sipil maupun tidak.
Berdasarkan pengalaman di dunia advokasi, mereka menyaksikan ada kasus-kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga yang tidak ditangani karena status perkawinan mereka yang tak tercatat. Hal itu akhirnya jadi kendala bagi korban untuk mendapatkan akses keadilan, dan itu terkesan diskriminatif.
“Untuk buka ruang-ruang kosong seperti ini kita butuh ciptakan ruang yang aman bagi perempuan, kami lalu beranikan diri untuk pakai legalitasnya kawan Gilbert Rumboirusi, sebagai advokat untuk buka kantor hukum yang kami beri nama Tong Pu Ruang Aman,” ujarnya.
Tak saja kasus di Jayapura
Pelayanan yang mereka berikan berupa konsultasi secara online dan pendampingan secara langsung. Tahun 2023 lalu mereka bahkan melayani beberapa perempuan di luar Papua, seperti di Jawa dan Aceh, yang berkonsultasi secara online. Penanganannya mereka arahkan ke lembaga bantuan hukum setempat yang khusus menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Kalau kasus yang pernah kami dampingi di luar Kota Jayapura itu di Timika dan Biak, kami juga sekaligus buka posko pengaduan di kedua tempat itu. Jadi ada nomor handphone yang kami berikan untuk bisa dihubungi,” ujarnya.
Opki menjelaskan, pengaduan yang mereka terima tak saja untuk kasus kekerasan perempuan dan anak, tetapi juga kekerasan berbasis gender lainnya.
“Untuk kasus pengaduan yang kami terima itu selain untuk perempuan dan anak, kami juga menerima kasus kekerasan berbasis gender lainnya, kasus pelanggaran HAM juga kami tangani, misalkan kategorinya itu tidak mampu, seperti laki-laki ataupun anak laki-laki yang tidak mampu secara ekonomi itu kita berikan bantuan hukum,” ujarnya.
Ada dua kasus kekerasan yang menjadi tantangan tersendiri bagi TPRA, yaitu KDRT yang sering menimpa perempuan Papua dan KBGO.
“Untuk KDRT kami perempuan Papua tidak mendapatkan keadilan khususnya karena status perkawinan secara adat, yang belum sah secara administrasi negara. Jadi bila dibawa sampai ke ranah hukum, tidak memenuhi [syarat] hukumnya, dan hanya bisa dilakukan adalah [untuk kasus] penelantaran anak. Jadi hak-hak anaknya yang harus dipenuhi, karena ada ikatan secara biologis,” ujarnya.
Lalu, terkait kasus KDRT yang status perkawinannya tidak didaftarkan secara sipil, maka kasusnya masuk ke kategori penganiayaan, bukan KDRT. Hal itu, menurut Opki, merugikan korban karena hukumannya tidak berat.
Tren KBGO
“Berikut yang jadi tren di Papua itu KBGO. Setiap tahun ada sekitar 50 pengaduan. Jadi semua kasus yang pernah saya dan Gilbert dampingi mulai tahun 2019, sebelum tercetusnya ide untuk mendirikan badan hukum sendiri, masuk dalam laporan kasus ke Cyber Polda Papua. Dan tidak pernah ada kasus yang tuntas di pengadilan. Alasan yang kami terima biasanya karena kurang alat deteksi dan segala macam,” ujarnya.
Jadi, lanjutnya, kalau ada kasus penyebaran foto atau video yang tak inginkan, meskipun sudah bisa diprediksi siapa yang menyebarkan, tapi dari pihak Cyber Polda masih akan bersikukuh menunggu alat bukti yang pasti. Padahal dari pihak Cyber Polda sendiri masih kesusahan mencari alat bukti yang dimaksud seperti apa, sehingga kita selalu terhambat untuk semua kasus KBGO.
“Kalaupun ada yang terselesaikan, itu hanya beberapa, dan terselesaikan lewat jalur mediasi. Jadi dalam setahun hanya sekitar lima saja yang bisa dimediasi, selain itu tidak ada sama sekali untuk kasus KBGO,” ujarnya.
Layanan cuma-cuma
Opki juga menambahkan, seringkali dalam menangani kasus, mereka masih menemukan teman-teman perempuan mengalami diskriminasi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mereka mengadu, termasuk di kepolisian.
Pelayanan bantuan hukum ini dilakukan Opsi dan rekannya secara cuma-cuma, meskipun dalam keadaan ekonomi yang masih sangat terbatas. Bila ada kasus yang harus didampingi di luar Kota Jayapura, mereka hanya meminta bantuan biaya transportasi dan tempat tinggal ke klien mereka. Selain daripada itu gratis.
“Selama di Kota Jayapura ini kami melayani dengan gratis, dan tidak ada pembatasan-pembatasan kasus, jadi apapun kasusnya kalau dia perempuan kita tetap lakukan advokasi,” ujarnya.
Karena melayani bantuan hukum secara gratis, TPRA pasti mengalami kendala ekonomi. Namun itu tidak membatasi semangat mereka melakukan pendampingan terhadap klien.
Untuk menutupi kekurangan, ada usaha kuliner yang mereka lakukan yaitu usaha ‘Dapur Pace Gimbal’. Hasil dari penjualan makanan dari Dapur Pace Gimbal dipakai untuk membiayai kebutuhan transportasi saat mendampingi klien mereka di seputaran Kota Jayapura. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!