Jayapura, Jubi – Sebuah lembaga konservasi laut nirlaba mengecam perintah eksekutif terbaru Presiden Amerika Serikat yang dinilai berpotensi mempercepat dan memperluas industri penambangan laut dalam.
Presiden Donald Trump pada Kamis (24/4/2025) menandatangani perintah bertajuk “Melepaskan Sumber Daya dan Mineral Penting Lepas Pantai Amerika”. Perintah ini menginstruksikan Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) untuk mempercepat proses perizinan penambangan laut dalam. Hal ini dikutip Jubi dari laman RNZ Pacific, Jumat (25/4/2025).
Dalam perintah tersebut dinyatakan bahwa, “Adalah kebijakan AS untuk memajukan kepemimpinan Amerika Serikat dalam pengembangan mineral dasar laut.”
NOAA diberi tenggat waktu 60 hari untuk mempercepat peninjauan dan penerbitan lisensi eksplorasi serta izin pemulihan komersial atas mineral dasar laut di wilayah di luar yurisdiksi nasional, berdasarkan Undang-Undang Sumber Daya Mineral Keras Dasar Laut Dalam.
Ocean Conservancy menilai langkah itu sebagai respons atas permintaan dari pelopor penambangan laut dalam, The Metals Company, yang mendorong persetujuan AS untuk menambang di perairan internasional—mengabaikan otoritas International Seabed Authority (ISA).
ISA sendiri adalah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas mengatur aktivitas penambangan laut dalam secara global. Namun, AS bukan anggota ISA karena belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
“Perintah eksekutif ini bertentangan dengan misi NOAA,” ujar Jeff Watters, Wakil Presiden Urusan Eksternal Ocean Conservancy.
Menurutnya, NOAA seharusnya melindungi lautan dan manfaat ekonominya seperti perikanan dan pariwisata, bukan justru membahayakannya. “Para ilmuwan telah sepakat bahwa penambangan laut dalam merupakan ancaman serius bagi ekosistem laut dan semua makhluk yang bergantung padanya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa lokasi dasar laut tempat uji coba penambangan dilakukan lebih dari 50 tahun lalu hingga kini belum sepenuhnya pulih.
“Kerusakan akibat penambangan laut dalam tidak hanya terjadi di dasar laut, tetapi juga berdampak pada seluruh kolom air, dari permukaan hingga kedalaman, serta seluruh kehidupan yang bergantung padanya,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa wilayah-wilayah target penambangan sering kali tumpang tindih dengan kawasan perikanan penting. “Ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap industri perikanan yang bernilai 321 miliar dolar AS,” tambahnya.
Watters menilai perintah eksekutif itu akan berdampak global.
“Langkah sepihak pemerintahan Trump di perairan internasional berisiko mendorong negara-negara lain melakukan hal serupa—yang pada akhirnya memperburuk kondisi laut kita semua,” katanya.
Reuters melaporkan bahwa perintah tersebut mencoba menghindari konfrontasi langsung dengan ISA, dengan fokus memulai penambangan di perairan AS sebagai strategi menyaingi dominasi China dalam penguasaan industri mineral penting.
Sejumlah kawasan di Samudra Pasifik diketahui menyimpan endapan batuan berbentuk kentang yang disebut nodul polimetalik—mengandung bahan penting untuk produksi kendaraan listrik dan perangkat elektronik.
Seorang pejabat pemerintahan Trump mengklaim kepada Reuters bahwa lebih dari satu miliar metrik ton nodul semacam itu berada di wilayah perairan AS, kaya akan mangan, nikel, tembaga, dan mineral lainnya.
Awal bulan ini, CEO The Metals Company melayangkan surat bernada keras kepada ISA, menuduh lembaga tersebut “dipengaruhi oleh sekelompok negara yang bersekutu dengan LSM lingkungan” dan melihat industri penambangan laut dalam sebagai “trofi hijau terakhir mereka.” (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!