Jayapura, Jubi – Ambisi dan kepentingan keamanan regional Australia bakal turut dipertaruhkan dalam pemungutan suara Pemilihan Umum Vanuatu pada pekan lalu. Para pemilih di sana akan memilih pemerintahan baru di tengah kekacauan politik dan penanganan dampak gempa bumi dahsyat yang terjadi pada Desember 2024.
Pada 15 Januari 2024, InsidePNG melansir pemberitaan berjudul “Australia security aims tangled in Vanuatu election” yang menyebut pemungutan suara pada 16 Januari 2025 sebagai pemilihan umum dipercepat setelah pembubaran parlemen Perdana Menteri Charlot Salwai pada November 2024.
Dalam minggu-minggu penuh gejolak sejak itu, pihak oposisi dua kali gagal dalam upaya hukum untuk membatalkan pemilu. Port Vila diguncang gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter seminggu sebelum Natal, dan gempa bumi itu menewaskan sedikitnya 14 warga.
Di tengah upaya pemulihan itu, ada kegembiraan di jalan-jalan ibu kota Vanuatu pada Senin (13/1/2025). Dengan gaya khas Melanesia, iring-iringan mobil dan van berisi pendukung yang mengenakan warna partai membanjiri jalan-jalan utama ibu kota dalam kampanye terakhir yang riuh.
Banyak hal yang dipertaruhkan dalam pemilihan umum dipercepat itu, baik bagi Vanuatu maupun kawasan tersebut. Banyak warga ni-Vanuatu yang frustrasi dengan ketidakstabilan politik, karena 20 pergantian perdana menteri.
Ada masalah serius yang dihadapi salah satu negara termiskin di Pasifik itu, yang kini harus berjuang menghadapi pemulihan pascabencana besar.
Australia juga punya kepentingan yang dipertaruhkan dalam Pemilihan Umum 2024. Pada 2022, pemerintahan Anthony Albanese mengumumkan perjanjian keamanan bilateral dengan Vanuatu. Kesepakatan itu dicapai dengan Menteri Luar Negeri Penny Wong yang memimpin delegasi bipartisan ke Port Vila.
Pakta ini adalah yang pertama dari beberapa pakta pertahanan serupa yang ditandatangani di kawasan tersebut selama masa pemerintahan Albanese. Pakta pertahanan dengan Vanuatu itu segera diikuti dengan perjanjian yang luas dengan Tuvalu dan Nauru, kesepakatan pemberdayaan NRL dengan Papua Nugini, dan investasi kepolisian besar-besaran dengan Kepulauan Solomon.
Pada 2024, Australia juga membantu pembentukan dua entitas regional baru: Kelompok Respons Pasifik untuk mengoordinasikan pengerahan militer bersama, termasuk dalam bencana. Selain itu, Australia juga mendukung Inisiatif Kepolisian Pasifik senilai 400 juta dolar AS.
Akan tetapi, kesepakatan kerja sama pertahanan Australia – Vanuatu tidak pernah efektif berlaku. Perjanjian itu justru memicu introspeksi mendalam di Vanuatu, dengan banyak anggota parlemen kecewa dengan cara Perdana Menteri Ishmael Kalsakau menangani perjanjian itu.
“Kesepakatan tersebut tidak banyak dikonsultasikan di kalangan politisi Vanuatu dan juga di kalangan masyarakat,” kata analis senior Australian Strategic Policy Institute, Blake Johnson, kepada Australian Associated Press yang dikutip InsidePNG.
“Itulah alasan untuk memberikan suara menentangnya sebagai perdana menteri, yang pada akhirnya menyebabkan dia kehilangan jabatannya, [meskipun perjanjian kerja sama pertahanan itu] bukan alasan terbesar,” tambahnya.
Peneliti senior Urusan Asia Pasifik di Universitas Nasional Australia, Graeme Smith juga berpendapat bahwa kontroversi kerja sama pertahanan Vanuatu – Australia menjadi salah satu penyebab jatuhnya pemerintahan Ishmael Kalsakau. “Itu adalah bagian dari pergolakan politik. [Kontroversi kerja sama pertahanan] itu memang berperan,” katanya.
Beberapa pihak ingin Vanuatu menghindari pertikaian geopolitik antara Amerika Serikat dan China. Mereka menganggap tanah air mereka seharusnya berperan sebagai negara yang tidak berpihak.
Kalsakau bertahan sembilan bulan lagi sebelum anggota koalisinya mengalihkan dukungan bagi Sato Kilman untuk menjabat sebagai perdana menteri untuk keenam kalinya. Sato Kilman digantikan oleh Charlot Salwai pada Oktober 2023. Salwai terancam kehilangan jabatannya pada akhir 2024, sebelum ia membubarkan parlemen untuk menghindari mosi tidak percaya.
Sementara Kilman dan Salwai tidak meratifikasi perjanjian keamanan dengan Australia, Kalsakau berjanji untuk meratifikasi perjanjian itu jika blok oposisinya berkuasa lagi. “Kami akan meratifikasinya,” kata Kalsakau kepada AAP pada Desember.
Blake Johnson mengatakan pemenuhan janji itu akan bergantung pada bentuk pemerintahan setelah pemilu.“Koalisinya kemungkinan besar akan terdiri dari sejumlah partai kecil, yang masing-masing punya agenda sendiri. Jika dia [Kalsakau] mencoba terburu-buru dalam perjanjian keamanan dengan Australia, hal itu dapat menyebabkan partai koalisinya berpindah ke kubu lain dalam mosi tidak percaya,” kata Johnson.
Johnson mengatakan bahwa ia membayangkan bahwa “orang-orang yang duduk di Canberra akan berharap untuk melihat Kalsakau kembali” karena itu adalah “waktu yang baik untuk hubungan tersebut”. Ia juga yakin Pemilihan Umum Vanuatu tidak akan memberi hasil yang buruk bagi Australia.
“Namun jika dibandingkan dengan beberapa pemimpin lain di Pasifik, tidak ada satu pun (Australia) yang bersitegang dengan negara lain seperti kami,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!