Jayapura, Jubi – Daerah Otonomi Bougainville, terdiri dari pulau Bougainville, Buka, dan sejumlah pulau Atol yang lebih kecil, terletak di Oseania di sebelah timur daratan Papua Nugini. Wilayah ini jauh sebelum kemerdekaan PNG pada 16 September 1975, sudah meminta pisah dari Papua Nugini. Apalagi bagi orang-orang Bougainville merasa lebih dekat secara budaya dan bahasa dengan Kepulauan Solomon dibandingkan dengan Papua Nugini.
Tak heran, ketika PNG merdeka pada 1975, Bougainville terus menjalin hubungan dengan warga Kepulauan Solomon yang akhirnya Solomon merdeka dari Inggris pada 1978.
Di tengah tingkat keberagaman yang begitu tinggi, beberapa ciri umum di kalangan penduduk Bougainville, antara lain warna kulit mereka yang lebih gelap dibandingkan sebagian besar penduduk daratan Papua Nugini. Warga Bougainville memiliki kepercayaan Kristen yang secara umum kuat, yang telah menyatu dengan spiritualitas masyarakat adat sebagai hasil interaksi mereka dengan para misionaris Katolik
Pemicu utama yang mendorong warga Bougainville bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan dari Papua Nugini berasal dari ketidakpuasan kolektif terhadap pengelolaan tambang Panguna. Tambang terbuka terbesar di PNG ini menimbulkan banyak kerugian yang signifikan, bagi mereka hanya memberikan sedikit manfaat.
Dan krisis di tambang Panguna mulai meledak sejak 1988, di mana saat itu mantan karyawan Bougainville Copper Ltd dan penduduk asli Bougainville, Francis Ona, datang untuk memimpin perlawanan yang kuat terhadap tambang Panguna. Bukan sekadar melawan perusahaan tambang itu saja tetapi jauh dari itu memperjungkan kemerdekaan bagi rakyat Bougainville.
Ona menyatakan bahwa rakyatnya memperjuangkan tanah, budaya, dan kemerdekaannya.
Namun tuntutannya kepada pemerintahan Panguna tidak dipenuhi. Ona mencuri 50 kilogram bahan peledak dan menyabotase tambang tersebut. Dia menyabotasi dan menghancurkan menara transmisi pemasok listrik dengan bantuan beberapa orang lainnya pada 1988.
Ia dibantu beberapa rekannya, Sam Kauona dan Joseph Kabui, membentuk Tentara Revolusioner Bougainville (BRA). Francis Ona tampil sebagai pemimpin tertinggi BRA didampingi Sam Kauona dan Joseph Kabui. Sejak itu BRA terus bertempur melawan Pasukan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF), pasukan bantuan Australia, dan juga pasukan penentang Bougainville.
Sandline Internasional tumpas BRA
Perdana Menteri PNG Sir Julius Chan pada pertengahan 1994 telah berulang kali menyelesaikan penyelesaian konflik Bougainville melalui cara-cara diplomatik. Namun upaya ini gagal karena pemimpin BRA Francis Ona dan kawan-kawan memilih tidak ambil bagian dalam perundingan. “Akibatnya konflik diselesaikan lewat kekuatan militer,” tulis Sir Julis Chan dalam bukunya ‘Playing the Game’.
Celakanya, PM Sir Julius Chan memakai kekuatan militer asing yang dikenal dengan kasus perselingkughan Sandline yang merupakan skandal politik dalam sejarah Papua Nugini dalam kasus Bougainville. Sandline International adalah sebuah perusahaan militer yang berbasis di London, Inggris.
Dalam buku Sir Julius Chan berjudul Playing the Game terbitan 2016, mengeksplorasi keputusannya pada 1997 untuk menyewa pasukan militer swasta, Sandline International, untuk memadamkan krisis sipil yang sedang berlangsung di Bougainville. Kesepakatan kontroversial ini memicu kemarahan dunia, membuat Sir Julius kehilangan jabatan perdana menteri dan menyebabkan sepuluh tahun berada dalam belantara politik.
Jenderal Singirok dari PNGDF akhirnya memimpin operasi militer di Bougainville dan mengusir pasukan militer swasta kontrak yang kontroversial tersebut. Setelah itu, Bill Skate terpilih sebagai Perdana Menteri baru dan peluang untuk pembicaraan damai pun dibicarakan antara Bougainville dan PNG.
Perjanjian Damai Bougainville 2001
Kesepakatan antara Bougainville dan PNG akhirnya terjadi pada 2001, di mana Perjanjian Damai Bougainville diratifikasi. Hal ini memberikan otonomi khusus bagi Pemerintahan Otonomi Bougainville, “sebuah posisi yang hampir mencapai kemerdekaan penuh”.
Mengutip https://dl.nfsa.gov.au, akhir 1990-an terjadi peralihan kekuasaan di BRA dari militan seperti Ona kepada pemimpin moderat seperti Joseph Kabui yang mendapat dukungan dari Sam Kauona. Baik Kabui maupun Kauona bersedia berpartisipasi dalam perundingan damai. Pelayanan pemerintah secara bertahap dipulihkan dan negosiasi dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih otonom di Bougainville, namun tetap menjadi bagian dari negara Papua Nugini.
Pasukan militer PNG ditarik, kelompok kombatan Bougainville dilucuti, dan referendum diadakan agar status politik Bougainville di masa depan belum dapat ditentukan. Ada beberapa faktor kunci yang menyebabkan keberhasilan implementasi perjanjian-perjanjian ini di Bougainville.
Hal ini termasuk peran yang dimainkan perempuan dalam menyelesaikan konflik di Bougainville, penyertaan dan integrasi bentuk pemerintahan adat dengan prosedur formal negara Westphalia. Kemudian persepsi kolektif tentang tanggung jawab, penekanan pada keadilan restoratif, pemantauan dan mediasi eksternal yang kuat, dan fakta bahwa proses tersebut penyembuhan ditekankan tanpa terburu-buru atau memaksakan hasil yang segera.
Hasil dari perjanjian Damai Bougainville 2001 adalah pelaksanaan referendum tidak mengikat pada 2019 dari 23 November dan 7 Desember 2019. Hampir sebagian besar rakyat Bougainville lebih memilih merdeka sebanyak 98,31 persen.
Referendum tersebut merupakan hasil kesepakatan pada 2001 antara pemerintah Papua Nugini dan Pemerintah Otonomi Bougainville yang mengakhiri perang saudara yang terjadi pada 1988 hingga 1998.
Pemungutan suara tersebut tidak mengikat dan Pemerintah Papua Nugini mempunyai kewenangan akhir untuk melakukan referendum. Para pengamat mengatakan bahwa hasil yang jelas membuat Papua Nugini sulit untuk mengabaikan atau menunda hasil tersebut, namun kemerdekaan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dicapai.
Bougainville Merdeka butuh moderator
Perdana Menteri PNG James Marape dan Presiden Bougainville Ismail Toroama menegaskan kembali komitmen bersama mereka terhadap Perjanjian Perdamaian Bougainville dan semangat konsensus Melanesia.
“Mereka sepakat untuk memastikan proses damai ditindaklanjuti saat kedua pemerintah bersiap untuk menjalani tahap terakhir perjalanan politiknya”. Demikian pernyataan dikutip jubi.id dari https://www.rnz.co.nz, Rabu (15/5/2024).
Pemerintah PNG menyetujui permintaan Bougainville untuk melibatkan seorang moderator guna memecahkan kebuntuan mengenai pengajuan referendum kemerdekaan di wilayah tersebut.
Bougainville telah mencari apa yang disebutnya sebagai ‘moderator yang bekerja’ untuk menyelesaikan perselisihan mengenai bagaimana referendum kemerdekaan mereka akan diajukan di Parlemen Nasional.
Port Moresby mengatakan ‘mayoritas mutlak dari 118 anggota parlemen harus mendukung usulan tersebut’, namun Menteri Implementasi Kemerdekaan Bougainville Ezekiel Masatt mengatakan hal itu harus menjadi mayoritas parlemen yang sederhana.
Berbeda dengan Presiden Otonom Bougainville Ishmael Thoroama yang masih percaya dengan proses kemerdekaan melalui ratifikasi parlemen nasional. Hal ini jelas bagi pemerintah PNG sangat berat, pasalnya jika Bougainville merdeka, tentunya akan memicu gerakan separatisme bagi provinsi-provinsi di PNG.
Sedangkan pemimpin pasukan BRA, Francis Ona langsung menyatakan proklamasi kemerdekaan Bougainville pada 17 Mei 1990 dengan menamakan dalam bahasa setempat Republik Me’ekamui, namun tidak diakui secara internasional.
Francis Ona yang lahir pada 1953 meninggal karena sakit malaria di kampungnya pada 24 Juli 2025. Meski kemerdekaan Bougainville belum diakui secara internasional tetapi bagi warga Bougainvlle, setiap 17 Mei selalu dirayakan sebagai “Hari Bougainville Merdeka”. (*)
Discussion about this post