Jayapura, Jubi – Pada Hari Anti-Korupsi Internasional dan menjelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM), tanggal 9 Desember lalu, Amerika Serikat mendorong pertanggungjawaban para pelaku korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.
Tak boleh masuk ke Amerika Serikat
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menetapkan 14 orang, termasuk anggota keluarga dekat karena terlibat dalam korupsi yang signifikan dan seorang pejabat karena terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, sesuai dengan Section 7031(c) of the annual Department of State, Foreign Operations, and Related Programs Appropriations Act (“Section 7031(c)
(Bagian 7031(c) dari Undang-Undang tahunan Departemen Luar Negeri, Operasi Luar Negeri, dan Program Terkait (“Bagian 7031(c)”), yang membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk masuk ke Amerika Serikat. Departemen Luar Negeri juga mengambil langkah lebih lanjut untuk memberlakukan pembatasan visa terhadap lusinan orang sesuai dengan berbagai kebijakan di bawah section 212(a)(3)(C) of the Immigration and Nationality Act (pasal 212(a)(3)(C) Undang-Undang Imigrasi dan Kebangsaan).
Selain itu, Departemen Luar Negeri AS juga telah mengambil tindakan di bawah wewenang ini untuk membatasi visa individu yang telah memungkinkan, memfasilitasi, atau terlibat dalam korupsi yang signifikan dan anggota keluarga dekat mereka.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat, melalui koordinasi yang erat dengan Inggris, menjatuhkan sanksi kepada sembilan individu dan 19 entitas yang terdiri dari jaringan korupsi global yang berbasis di Zimbabwe di bawah program sanksi Global Magnitsky dan tiga individu dan entitas di Yaman dan Suriah yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia di bawah program sanksi Global Magnitsky dan program sanksi Suriah.
Pembunuh Pendeta Zanambani
Alpius Hasim Madi, yang pernah menjadi Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipa, tercatat sebagi salah satu individu dari 14 individu dari beberapa negara yang terdampak Tindakan Amerika Serikat ini.
Alpius berdasarkan keterangan dari istri almarhum Pendeta Yeremia Zanambani dan saksi-saksi lainnya, diduga sebagai pelaku penembakan. Hal yang sama juga diutarakan oleh Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya.
Sebelumnya, Menko Polhukam saat itu, Mahfud Md, saat membacakan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada 21 Oktober 2020 mengatakan peristiwa tewasnya pendeta Yeremia Zanambani diduga melibatkan oknum aparat militer Indonesia.
Namun proses hukum atas kasus pembunuhan itu berjalan lamban dan tertutup setelah kasusnya dilimpahkan ke pengadilan militer, bukan pengadilan umum. TNI berdalih karena kasusnya melibatkan anggota mereka, maka harus diproses lewat peradilan militer, dengan berkukuh menggunakan UU Peradilan Militer yang dibuat pada masa Orde Baru.
Padahal pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menempatkan tentara dalam ranah wewenang peradilan sipil untuk pelanggaran berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus pembunuhan Pendeta Yeremia seharusnya diadili melalui peradilan umum.
Pendeta Zanambani, meninggal pada Sabtu (19/9/2020). Ia meninggal karena ditembak usai memberi makan ternak babinya, dan akan pulang ke rumah. Pelaku penembakan Pendeta Zanambani diduga kuat adalah Alpius.
Sidang kasus pembunuhan atas Pendeta Yeremia baru dimulai pada 4 Juli 2022 di Pengadilan Militer III-19 Jayapura dengan mendakwa tiga prajurit TNI Angkatan Darat, yaitu Kapten Saiful Anwar, Serka Alex Ading, dan Pratu Moh. Andi Hasan Basri.
Pada sidang putusan tanggal 30 Juni 2023, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun mereka hanya dihukum satu tahun penjara dan membayar biaya perkara Rp20.000 bagi Saiful Anwar, Rp15.000 bagi Alex Ading, dan Rp10.000 bagi Andi Hasan Basri. Alpius Hasim Madi bahkan tidak disidang dalam persidangan ini.
Dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, disebutkan berdasarkan Pasal 7031(c), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat secara terbuka menyebutkan Alpius Hasim Madi atas keterlibatannya dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, yaitu pembunuhan di luar proses hukum terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua pada tahun 2020.
Selain Alpius Hasim Madi dari Indonesia, beberapa individu yang terlibat kasus korupsi dan pelanggaran HAM di beberapa negara seperti Macedonia Utara, Kepulauan Marshall, Siria, Rusia dan Yaman disebutkan juga sebagai penerima sanksi. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!