Jayapura, Jubi — Suara Abharam Kabey bergetar ketika mengisahkan bagaimana upaya pihak keluarga mencari pertolongan medis untuk menantunya, almarhumah Irene Sokoy saat hendak melahirkan, Minggu (16/11/2025) siang.
Sayangnya, upaya keluarga agar Irene Sokoy mendapat pertolongan medis memadai untuk menyelamatkan almarhumah dan bayi dalam kandungannya mesti berakhir duka.
Irene Sokoy dan bayinya meninggal dunia dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Jayapura di Dok II Jayapura, Senin (17/11/2025) dini hari, setelah ditolak beberapa rumah sakit atau RS di Kota Jayapura.
Kisah itu diceritakan Abraham Kabey saat ditemui di Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (21/11/2025) pagi.
*****************
Jubi.id adalah media yang berbasis di Tanah Papua. Media ini didirikan dengan sumberdana masyarakat melalui donasi dan crowd funding. Dukung kami melalui donasi anda agar kami bisa tetap melayani kepentingan publik.
*****************
Abraham Kabey menyebut satu persatu rumah sakit yang didatangi pihak keluarga membawa Irene Sokoy yang hendak melahirkan, namun menolak memberikan penanganan medis dengan berbagai alasan.
“Dia datang [ke rumah sakit] dengan harapan [dapat] melahirkan anak ketiga. Tapi [ia] pulang sudah dalam peti,” kata Abraham Kabey lirih, menahan tangis.
Di pangkuannya duduk dua cucunya, Yoan Kalvin Kabey (11 tahun) dan Alfonsina Kabey (6 tahun). Anak almarhumah Irene Sokoy itu, kini harus tumbuh tanpa kehangatan seorang ibu.
Abraham Kabey bercerita, Irene Sokoy dibawa dari RW 2 Kensio, Kampung Hobong menggunakan speedboat ke RSUD Yowari pada Minggu (16/11). Ketika itu kondisinya sudah memasuki pembukaan enam, ketuban telah pecah, dan merasakan sakit terus menerus.
Hingga pukul 22.00 Waktu Papua atau WP, kondisi Irene semakin memburuk, namun bayi dalam kandungannya tidak juga turun ke jalan lahir. Perawat mengatakan pembukaannya sudah lengkap dan memperkirakan berat bayi sekitar empat kilogram, sehingga berisiko apabila persalinan dilakukan secara normal atau tanpa operasi.
Keluarga pun meminta tindakan medis lebih lanjut kepada para perawat di RSUD Yowari. Namun pihak keluarga menilai proses pembuatan surat rujukan sangat lama.
“Dari jam 10.00 malam sampai hampir jam 12.00 malam, surat belum juga dibuat,” ujar Abraham Kabey.
Katanya, ambulans RSUD Yowari baru tiba pukul 01.22 WP. Dari sinilah, perjalanan panjang yang disebut keluarga sebagai “putaran penolakan” dimulai.
RS Dian Harapan di Waena, Kota Jayapura menjadi tujuan rujukan pertama. Namun keluarga mengaku ditolak karena ruangan penuh dan dokter anestesi tidak tersedia. Keluarga kemudian diarahkan membawa almarhumah ke RSUD Abepura.
Di sana, Irene Sokoy kembali tidak mendapat pelayanan medis. Pihak RSUD beralasan ruang bersalin sedang direnovasi.
“Kalau bilang rujuk, harusnya koordinasi dulu. Tapi kami terus disuruh cari rumah sakit lain, sementara dia sudah sesak dan sakit sekali,” ucapnya.
Dalam kondisi yang semakin lemah, keluarga membawa Irene Sokoy ke RS Bhayangkara di Jalan Jeruk Nipis, Kotaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura. Di sana dokter sempat memeriksa rujukan dan dua perawat melihat kondisi pasien di dalam mobil. Keluarga memohon agar Irene Sokoy segera ditangani.
Namun menurut mereka, rumah sakit meminta pembayaran uang muka Rp4 juta karena yang tersedia adalah kamar “kelas khusus” atau VIP. Kamar rawat inap untuk pasien BPJS penuh. Keluarga menjelaskan bahwa mereka tidak membawa uang sebesar itu.
“Kami bilang tolong selamatkan dulu, urusan bayar nanti kami atur. Tapi tidak diterima,” ucap Abraham Kabey.
Dokter kemudian memberikan surat pengantar ke RSUD Jayapura di Dok II atas Kota Jayapura. Ambulans yang membawa Irene Sokoy meninggalkan RS Bhayangkara sekitar pukul 03.30 WP.
Namun dalam perjalanan, saat memasuki kawasan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Irene Sokoy mengalami kejang, mulutnya mengeluarkan busa, dan napasnya tersengal.
Karena jarak ke RSUD Jayapura masih jauh, keluarga memutuskan membawa almarhumah kembali ke RS Bhayangkara. Setibanya di sana sekitar pukul 05.00 WP, sayangnya nyawa Irene Sokoy sudah tidak lagi dapat ditolong.
“Dia meninggal di pangkuan kami. Bayinya juga sudah hilang denyut,” kata Abraham dengan suara gemetar.
Neil Castro Kabey, suami Irene Sokoy masih nampak syok saat ditemui di kediamannya. Ia mengenang istrinya sebagai perempuan periang, aktif dalam kegiatan kampung, dan sekretaris PKK yang selalu hadir dalam pertemuan warga.
“Ia jarang mengeluh. Tapi untuk anak ketiga ini, dia minta operasi karena katanya jalannya sempit,” kata Neil Castro Kabey.
Menurut Neil, kartu BPJS istrinya aktif dan selalu digunakan setiap pemeriksaan kesehatan atau kehamilannya. Namun saat di RS Bhayangkara, mereka justru diminta membayar biaya tiga sampai empat juta rupiah untuk bisa masuk kamar.
“Kami cuma bawa uang di bawah satu juta. Katanya tempat BPJS penuh. Kami bingung, sementara dia makin sesak,” katanya.
Neil juga mempertanyakan minimnya tenaga dokter yang ada di rumah sakit saat kejadian. “Kalau satu dokter keluar, harusnya ada yang gantikan. Ini nyawa manusia,” ujarnya kesal.
Abraham Kabey, Neil Kabey, dan pihak keluarga besar kini mempertimbangkan langkah hukum untuk menuntut pertanggungjawaban para pihak terkait.
“Sudah sering kejadian seperti ini, bukan baru sekali. Harus ada keadilan. Kalau tidak, ini terus terjadi,” ucap Neil.
Keluarga berharap pemerintah daerah turun tangan menyelidiki kasus ini, mengingat sebelumnya Gubernur Papua pernah menyampaikan teguran keras terhadap manajemen layanan kesehatan di RSUD II Jayapura saat melakukan inspeksi mendadak beberapa waktu lalu.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari RSUD Yowari, RS Dian Harapan, RSUD Abepura, dan RS Bhayangkara terkait dugaan penolakan dan lambannya penanganan tersebut. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!




Discussion about this post