Jayapura, Jubi – Tentara Nasional Indonesia atau TNI diduga membunuh Abral Wandikbo (27 tahun), warga asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Tentara Nasional Indonesia atau TNI juga diduga merusak 12 rumah warga dan Puskesmas, gedung sekolah dan Kantor Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga dijadikan pos keamanan. Warga meminta agar tentara keluar dari kampung mereka.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia atau YKKM Papua, Theo Hesegem mengatakan Abral Wandikbo ditangkap dan dibawa ke pos TNI pada 22 Maret 2025. Ia lalu mengalami penyiksaan, dan ditemukan meninggal dunia pada 26 Maret 2024.
“Memang dibunuh oleh TNI. Dia ditangkap, dibawa ke pos, disiksa. Mengalami tindakan kekerasan fisik, telinga, testa, mulut dipotong. Mutilasi. Kekerasan seperti ini pernah terjadi di Timika,” kata Hesegem kepada Jubi, pada Jumat (25/4/2025).
Hesegem mengatakan Abral Wandikbo merupakan warga sipil, dan bukan bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB. Hesegem mengatakan warga sipil harus mendapatkan perlindungan dan beraktivitas secara aman, tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
“Dia masyarakat sipil bukan TPNPB. Jangan menangkap sewenang-wenang, interogasi atau dipukul atau disiksa dan dibunuh. Tidak usah membunuh masyarakat. Hal-hal ini tidak boleh tidak terjadi. Masyarakat sipil harus dilindungi. [Jangan] emosi lampiaskan ke masyarakat sipil,” ujarnya.
Hesegem meminta agar pelaku pembunuhan diproses hukum demi memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban. Hesegem meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Kabupaten Nduga melakukan pemantauan di Kampung Yuguru tersebut.
Rumah warga dirusak

Hesegem mengatakan 12 rumah warga di Kampung Yuguru termasuk rumah dinas guru juga dirusak TNI. Mereka mencopot pintu, tiang rumah dan mengambil kasur, dan peralatan masak warga
“Mereka aparat keamanan membongkar dan merusak rumah-rumah milik warga Yuguru,” katanya.
Hesegem mengatakan setidaknya ada 200 anggota TNI berada di Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. TNI menempati SD Negeri Yuguru, dan Puskesmas sebagai pos keamanan. Anggota TNI tersebut menghamburkan buku-buku dan ijazah siswa.
Hesegem mengatakan TNI mulai memasuki Yuguru pasca pembebasan Pilot pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Mahrtens. Kelompok bersenjata TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya menyandera Phillip Mark Mehrtens setelah pilot Susi Air itu mendaratkan pesawatnya di Lapangan Terbang Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan pada 7 Februari 2023. TPNPB kemudian membebaskan Philip Mark Mahrtens di Kampung Yuguru, pada 21 April 2024 lalu.
Hesegem mengatakan kehadiran pasukan TNI membuat warga takut dan tidak aman untuk beraktivitas dan memicu kontak tembak antara TNI/Polri dan TPNPB. Hesegem mengatakan warga telah meminta agar TNI tidak boleh melewati batas dari sungai Warun dan Merame karena disana terdapat wilayah pemukiman pengungsi.
“Jangan sampai terjadi kontak senjata kemudian yang akan menjadi korban adalah masyarakat sipil,” ujarnya.
TNI jadikan kantor distrik sebagai pos keamanan
Kepala Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Nus Gwijangge mengatakan pasukan TNI menempati Kantor Distrik Mebarok sebagai pos keamanan. TNI menempati Kantor Distrik Mebarok sekitar Februari 2025. Gwijangge marah namun mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mereka [TNI] ada di kantor distrik. Mereka tiba langsung masuk. Mereka masuk Februari 2025. Tidak ada komunikasi. Setelah mereka masuk, saya dengar informasi. Lalu saya jalan kaki hingga ke Distrik Yuguru tiba 6 Februari 2025. Lalu saya sempat marah-marah, kamar saya juga mereka pakai,” kata Gwijangge kepada Jubi, pada Sabtu (26/4/2025).

Gwijangge mengatakan ia bersama warga telah bertemu dengan Panglima Kogabwilhan III di Kampung Yuguru. Dalam pertemuan itu, Gwijangge mengatakan warga telah meminta agar TNI keluar dari kampung mereka.
“Itu mereka [warga] sampaikan juga, kalau pasukan militer ditempatkan di kampung itu membuat warga takut. Karena terjadi bentrokan kontak senjata TNI/Polri dan TPNPB masyarakat yang jadi korban,” ujarnya.
Gwijangge mengatakan warga juga meminta agar pemerintah membuka akses penerbangan ke Kampung Yuguru. Selain itu warga juga meminta agar TNI jangan secara sepihak mencurigai warga sipil sebagai TPNPB OPM hanya karena berpenampilan rambut gimbal, berjenggot, memakai baju atau gelang bermotif bendera Bintang Kejora.
“Inilah kami warga dengan kulit hitam, rambut gimbal, jenggot. Kami pakai gelang tangan motif bendera bintang kejora, baju atau kepala itu identitas bangsa Papua. Kami tidak minum makan dari mana-mana. Kita kerja hasil tangan kita sendiri, kami pindah-pindah tempat kampung, wilayah hutan cari makan. Kehidupan kami seperti itu, jangan bapak [TNI] dong lihat kita itu ini musuh, ini OPM, jangn begitu. Kami masyarakat hidup berpindah-pindah, dan kami menikmati hasil [kebun] sendiri,” katanya.

Gwijangge mengaku telah mendapatkan laporkan soal pembunuhan Abral Wandikbo dan perusakan rumah warga di Yuguru. Ia juga mengatakan sekitar 1000 warga di Distrik Mebarok masih mengungsi ke hutan-hutan dan kampung-kampung tetangga. Gwijangge mengaku telah melaporkan masalah ini kepada bupati dan wakil bupati Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
“Mereka sudah telepon dan ada yang langsung datang kasih tau saya [soal pembunuhan itu]. Warga Mebarok mengungsi ke hutan-hutan, di kampung-kampung perbatasan. Sekitar 1000 ribuan yang sedang mengungsi. Saya sudah koordinasi dengan bupati dan wakil bupati Nduga, bahwa warga kita bapak-bapak minta tolong tugas kami distrik sudah turun dan kami sudah bicara. Kebaikan itu dibalas dengan kejahatan. Jadi sekarang bapak [bupati dan wakil bupati] dong [dengan] cara bagaimana supaya turun ke lapangan [melihat kondisi masyarakat],” ujarnya.
Jubi berusaha menghubungi Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Candra Kurniawan dan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel Inf Winaryo. Namun, hingga berita ini diterbitkan upaya konfirmasi Jubi belum direspons.
Pendekatan keamanan makin masif
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan pendekatan keamanan di Tanah Papua menjadi lebih dan makin masif. AlDP mencatat sepanjang 2024 sebanyak 14.496 anggota TNI dan 913 anggota TNI dikirim dari luar ke Tanah Papua.
“Pendekatan keamanan lebih masih,” kata Anum kepada Jubi.

Anum mengatakan pendekatan keamanan yang masif dengan bertambahnya pasukan satgas TNI dan Polri serta munculnya banyak kekuatan TPNPB OPM meningkat konflik bersenjata. Hal ini menyebabkan ruang publik makin sempit dan ancaman terhadap masyarakat sipil makin meluas.
Anum mengatakan aparat TNI masuk ke banyak tempat yang merupakan kampung-kampung terpencil dengan mengandalkan drone. Sementara TPNPB terus melancarkan perang gerilya sambil menolak berbagai bentuk kebijakan negara.
“Padahal di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, masyarakat sipil merupakan bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar,” ujarnya.
Anum mengatakan hak masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak tidak terpenuhi. Apalagi konflik bersenjata telah menyebabkan sejumlah sarana pelayanan publik seperti sekolah dan puskesmas dibakar/dirusak atau digunakan oleh para pihak yang berkonflik. Wilayah-wilayah yang tidak tertangani atau rusak fasilitas publiknya makin banyak.
“Pemerintah sipil pun tidak hadir secara maksimal dalam memberikan pelayanan publik termasuk pemenuhan layanan Pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Masyarakat sipil terus menjadi target dari satu peristiwa dan juga sasaran kemarahan ketika konflik bersenjata menimbulkan korban dari salah satu pihak dan pihak lain gagal melakukan pembalasan. Kondisi ini menyebabkan tidak ada toleransi apapun terhadap masyarakat sipil (zero toleransi),” katanya.(*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!