Wamena, Jubi – Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua kembali menjadi sorotan karena dinilai gagal melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP).
Kali ini, masalah muncul terkait kuota 20 persen penerimaan CPNS di Provinsi Papua Pegunungan yang diperuntukkan bagi OAP dari daerah lain di Papua dan non-OAP yang telah memiliki KTP Jayawijaya.
Kejelasan mengenai kuota tersebut dipertanyakan dalam aksi demonstrasi yang digelar oleh Organisasi Masyarakat HI – Labewa di depan kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Papua Pegunungan pada Rabu (25/9/2024).
Ketua Organisasi Masyarakat HI – Labewa, Samuel Pigai, mengungkapkan sejumlah keluhan terkait penerimaan CPNS di Provinsi Papua Pegunungan, khususnya mengenai ketidakjelasan kuota untuk OAP Pegunungan, OAP dari daerah lain, serta masyarakat nusantara yang lahir dan besar di Wamena.
“Kami yang hadir di sini adalah para pencari kerja (pencaker) yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam seleksi CPNS Formasi 2024 di Provinsi Papua Pegunungan,” kata Pigai.
Pigai menjelaskan bahwa dalam proses verifikasi administrasi, terdapat ketidakberesan, termasuk penolakan KTP Jayawijaya milik Labewa oleh sistem aplikasi dengan pesan “KTP yang diunggah tidak sah”. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan KTP yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL) Jayawijaya.
“Selain itu, ada pelamar dengan berkas tidak lengkap seperti surat keterangan dari kepala suku dan dari DIKTI, namun tetap lolos seleksi administrasi,” tambah Pigai.
Menurut Pigai, BKD Provinsi Papua Pegunungan tidak selektif dalam menyeleksi dan memverifikasi berkas-berkas persyaratan pelamar, baik OAP maupun non-OAP.
“Kami, anak-anak Labewa [OAP dan non-OAP], memahami bahwa 80 persen kuota CPNS memang diperuntukkan bagi anak-anak asli Provinsi Papua Pegunungan, dan itu tidak boleh diganggu gugat. Yang kami pertanyakan adalah kuota 20 persen untuk non-OAP dan OAP yang lahir dan besar di Wamena. Dari mana BKD dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan akan memanggil non-OAP untuk mengisi kuota ini?” tegasnya.
Pigai juga meragukan bahwa jumlah kuota tersebut akan dipenuhi oleh pelamar dari daerah setempat, mengingat dari hasil seleksi administrasi, hanya 12 orang yang memenuhi syarat.
“Jika kuota 20 persen itu berarti 200 orang, dari mana mereka akan mengambil sisanya?” kata Pigai.
Pigai mencurigai adanya upaya untuk membawa orang dari luar Papua Pegunungan untuk mengisi formasi tersebut. Oleh karena itu, pihaknya menggelar aksi protes untuk menuntut agar hak-hak OAP dan non-OAP yang lahir dan besar di Wamena tidak diambil alih oleh orang luar.
“Kami akan menunggu hingga tanggal 27, di mana masa sanggahan berakhir. Kami berharap BKD Papua Pegunungan dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, dalam hal ini Penjabat Gubernur Velix Wanggai dan Pejabat Sekretaris Daerah Wasuok Demianus Siep, dapat menanggapi masalah ini dengan serius,” katanya.
Pigai menambahkan jika tidak ada respons yang memadai, pihaknya akan membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menggugat BKD dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan.
Pigai juga menyoroti kelemahan regulasi Otsus Papua dalam mengatur pembagian kuota CPNS.
“Masa pelamar berstatus OAP harus memilih opsi non-OAP saat mendaftar. Ada apa ini?”
Ia juga mempertanyakan perbedaan tampilan aplikasi CPNS di Provinsi Papua Pegunungan dibandingkan dengan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, Operator Seleksi Administrasi, Frists Rumanase, dalam tanggapannya terhadap aksi demo tersebut, menyarankan agar pelamar yang dinyatakan TMS menggunakan masa sanggah yang berakhir pada tanggal 27 September untuk mengajukan sanggahan melalui aplikasi dengan mengunggah surat keterangan dari kepala suku.
“Kami di sini hanya membantu para pencaker dan tidak dapat mengambil kebijakan,” ujar Rumanase. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!