Jayapura, Jubi – Dosen Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat atau STF Driyarkara Jakarta, Dr. Budi Hernawan, pemfasilitasi kerjasama komunitas masyarakat sipil di Tanah Papua dengan komunitas masyarakat sipil di Patani-Thailand untuk membangun sebuah solidaritas bersama yang dinamakan jembatan Patani-Papua. Untuk maksud tersebut telah digelar sosialisasi selama dua hari pada 4-5 Agustus 2025 lalu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Dr. Budi Hernawan bilang program membangun solidaritas jembatan Patani-Papua itu bagian dari risetnya tentang peran agama dalam perlindungan warga sipil di tengah situasi konflik. Sebab itu, ia mengajak dua komunitas masyarakat sipil di Patani Thailand dan Tanah Papua untuk mulai berkenalan dan bekerjasama melakukan kerja-kerja advokasi dan penguatan kelembagaan dan penyadaran publik bersama-sama.
“Nah, metode ini dipakai karena selama ini riset-riset itu hanya menjadikan komunitas setempat sebagai narasumber saja, tetapi sifat risetnya melibatkan partisipasi warga sekaligus nanti hasilnya mereka sendiri yang akan mengembangkan program ini baik aktor dari awal sampai akhir,” kata Budi Hernawan pada Sabtu (9/8/2025).
Budi Hernawan berharap, peserta yang telah mengikuti sosialisasi program membangun jembatan Patani-Papua itu, baik yang mengikuti secara daring maupun berpartisipasi langsung lewat tatap muka atau ofline untuk bisa dapat saling mengenal antara budaya Patani dan Papua.
Ia berharap kedua pihak, dapat bekerja sama dalam penguatan organisasi masyarakat sipil di tengah situasi masing-masing ketika bersama-sama melakukan advokasi untuk membongkar isolasi kemanusiaan di wilayah masing-masing.
“Diharapkan kedepannya Papua [Indonesia] dan Patani [Thailand] komunitas masyarakat sipil bisa bersama-sama bekerja untuk membongkar isolasi ketidaktahuan publik internasional maupun domestik tentang situasi konflik mereka,” ujarnya.

Pastor Heribertus Lobya, Koordinator Program Jembatan Patani-Papua sekaligus Direktur SKPKC OSA di Papua mengatakan, selama dua sosialisasi sebanyak 6 lembaga difasilitasi Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Dr. Budi Hermawan, mereka belajar tentang peta konflik di komunitas sipil Patani Thailand dan situasi Tanah Papua secara umum. Mereka juga mempelajari tentang hukum humaniter Internasional serta kembali melihat kelebihan dan kekurangan lembaga di internal masing-masing guna saling memperlengkapi satu sama lain.
“Sudah [selama] dua hari kami bersama dengan teman-teman dari Jubi, Perkumpulan Pertenten Merauke JPIC OFM, STFD Jakarta, bersama dengan semua teman yang ada di sini berdiskusi dari tanggal 4 sampai 5 Agustus 2025,” ujarnya.
Menurut, Heribertus Libya, Patani merupakan sebuah komunitas masyarakat Melayu di Thailand, di mana jumlah penduduk mereka sebenarnya cukup banyak, tetapi mereka mengalami diskriminasi karena rezim yang berkuasa di Thailand itu lebih dominan sehingga mereka itu tersingkir secara budaya, bahasa, agama dan berbagai aspek kehidupan yang lain, termasuk pendidikan dan ekonomi.
“Hal itu membuat kelompok Patani [Thailand], teman-teman aktivis para peneliti ingin membangun jembatan dengan para aktivis atau peneliti di Papua supaya mereka juga dapat mengetahui situasi di Papua secara politik, ekonomi, budaya bahasa dan lingkungan. Sebaliknya kami yang di Papua juga bisa mengetahui situasi mereka yang ada di Patani-Thailand,” katanya.
Libya mengatakan, selama dua hari itu pihaknya belajar tentang situasi di Patani dan juga situasi Papua. Menurutnya, Papua juga mengalami konflik bersenjata antara TPNPB-OPM dan otoritas negara melalui aparat TNI-Polri, tetapi upaya-upaya untuk membangun perdamaian sulit terwujud dan masih dalam proses.
“Kami juga berdiskusi tentang hukum humaniter itu dilihat dalam perspektif konflik bersenjata di Papua dan juga di Patani,” ujarnya.
Libya mengatakan dalam diskusi itu para peserta program jembatan solidaritas Patani-Papua belajar tentang negara yang lebih luas seperti konflik Israel dan Palestina, termasuk Myanmar.
Ia mengatakan dari diskusi-diskusi itu mengajarkan setiap lembaga yang hadir supaya bagaimana bisa melihat kepada lembaga-lembaga lain untuk bagaimana mengambil peran masing-masing dalam meredam atau meghentikan gejolak dan konflik yang sedang terjadi saat ini.
Misalnya keberpihakan kepada mereka-mereka yang lemah seperti para anak-anak, perempuan orang-orang pengungsi yang ada di Maybrat, yang ada di Oksop Pegunungan Bintang, yang ada di Yahukimo, Intan Jaya, Nduga dan masih banyak tempat di Tanah Papua.
Di Patani-Thailand sendiri maupun di Myanmar dan berbagai tempat di belahan dunia lainnya mengalami pengungsian juga.
“Kami berbicara tentang lembaga-lembaga yang memiliki kekhasan dan program-program yang dibuat misalnya di Merauke ada sekolah keluarga, sekolah rakyat, itu mereka membangun kesadaran masyarakat.” ujarnya.
Pastor Libya mengatakan, pihak JPIC OFM juga menggalang penyadaran kepada masyarakat, mahasiswa, anak-anak muda, kepada orang-orang di paroki supaya mereka juga menyadari bagaimana situasi di Tanah Papua ini sedang tidak baik-baik saja. Terjadi pengungsian, situasi politik yang kurang baik, pendidikan yang perlu dikembangkan di hari-hari yang akan datang.
Pastor Heribertus Libya, berharap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa dapat mendokumentasikan atau menulis kembali informasi yang benar tentang pengungsian, situasi pendidikan di Papua yang mengalami kemerosotan dan situasi pendidikan yang mengalami kemajuan dan kemunduran. Akibat konflik itu memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang tidak jalan karena pengungsian
“Sehingga diskusi-diskusi seperti ini mengajak kami untuk membuka pikiran kembali. Lalu kami juga berdiskusi tentang bagaimana peran tokoh agama atau gereja dalam menangani konflik bersenjata di Tanah Papua, dari diskusi antar kelompok lembaga itu pihaknya melihat peran gereja menjadi paling penting dalam menangani konflik,” ujarnya. (*)