Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tim Perempuan dan Anak, Divisi Sipol, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Novita Opki mengatakan, negara Indonesia menelantarkan hak-hak perempuan dan anak di daerah konflik. Artinya negara juga terlibat dalam kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah konflik.
“Sebab jika ditinjau secara umum dan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak itu ada tiga jenis yakni kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual. Kalau kita bisa buka satu persatu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam konteks konflik di Papua, tiga bentuk kekerasan itu terjadi,” kata Novita Opki saat diwawancarai di Kantor LBH Papua, Rabu (23/2/2022).
Opki mengatakan tiga bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah konflik di Papua itu tidak bisa diuraikan kasusnya. Sebab persoalan yang mereka alami sangat dari bentuk kekerasan secara umum itu ada dan sangat kompleks. Pemerintah sendiri tidak bisa menjangkaunya.
“Negara mengabaikan hak-hak yang dijamin dalam undang undang dasar. Dengan demikian kita bisa berikan kesimpulan bahwa negara melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di berada di daerah konflik. Negara lalai dalam pemenuhan HAM terhadap perempuan dan anak,”katanya.
Baca juga:
Melawan lupa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua
Hari anak sedunia dirayakan di tengah kekerasan terhadap anak dalam konflik bersenjata Papua
Orang tua bayi tewas tertembak di Intan Jaya duga peluru dari aparat gabungan
Opki membeberkan contoh bentuk kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan fisik, psikis dan juga kekerasan seksual yang dilaami perempuan dan anak di daerah konflik di Tanah Papua. Kalau bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Seperti tidak terpenuhinya hak kesehatan reproduksi bagi perempuan yang berada di daerah pengungsian, ada perempuan yang melahirkan di hutan. Itu (negara) sudah melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan,” katanya.
Sedangkan bentuk kekerasan psikis, contohnya dalah rasa trauma yang dialami perempuan dan anak-anak akibat konflik bersenjata dan kekerasan fisik. Apalagi kekerasan itu dilakukan oleh pemerintah melalui aparat keamanan.
“Hingga saat ini tidak adanya rehabilitasi mental anak atau perempuan yang hidup larut di daerah konflik,”katanya. Sedangkan kekerasan fisik terjadi melalui pemukulan, hingga mengakibatkan korban nyawa. “ Berbicara tentang kasus perempuan dan anak begitu kompleks. itu menjadi konsen juga bagi kami untuk menangani kasus perempuan yang berada di daerah pengungsian,” katanya.
Menurutnya, hal ini bertolak belakang dengan fakta. Karena negara Indonesia sudah meratifikasi Konvensi penghapusan kekerasan atau penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia.
“Sehingga negara harusnya dengan cermat, peka mempertimbangkan hukum internasional yang telah diratifikasinya untuk menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Terlebih untuk perempuan yang berada di daerah konflik seperti di tanah Papua,”katanya.
Peraih penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien 2009, Pastor John Djonga Pr menyatakan DPR Papua dan MRP merupakan ujung tombak upaya perlindungan perempuan dan anak di Papua. Djonga menyatakan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah besar di Papua.
“Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kekerasan terhadap perempuan, ini satu momentum yang baik, di mana Komnas Perempuan dapat menghadirkan MRP dan DPR Papua. Kedua lembaga itu merupakan elemen penting dalam proses pembangunan di Papua, termasuk pemenuhan hak-hak perempuan dan anak Papua dari segi kesehatan,” ujarnya.(*)
Editor: Syam Terrajana

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!