Jayapura, Jubi – Mantan Presiden Kaledonia Baru, Louis Mapou, mengatakan hak asasi manusia dan kedaulatan merupakan isu besar yang dihadapi tidak hanya oleh Melanesia, tetapi juga oleh Pasifik yang lebih luas.
Para pemimpin Pasifik diperkirakan akan menegaskan kembali pengakuan Forum atas kedaulatan Indonesia atas Papua Barat pada KTT Para Pemimpin, tetapi juga akan mencoba untuk mengamankan kunjungan.
Mantan Presiden Pemerintahan Kolegial Kaledonia Baru, Louis Mapou, mengatakan Papua Barat memiliki tempat penting dalam agenda negara-negara Pasifik.

“Stabilitas regional menjadi perhatian utama Forum, dan isu-isu dekolonisasi—seperti Kaledonia Baru, Polinesia Prancis, dan Papua Barat—masih meresahkan,” ujarnya sebagaimana dilansir jubi.id dari laman RNZ Pasifik, Sabtu (6/9/2025).
Louis Mapou menghadiri pertemuan para pemimpin tahun lalu di Tonga, di mana kerusuhan sipil di Kaledonia Baru menjadi pusat perhatian.
Saat ia bertemu dengan para pemimpin Melanesia untuk membahas masalah kedaulatan, ia tidak berbicara kepada media.

Setahun kemudian, Mapou mengatakan kepada RNZ Pacific bahwa agar “masalah Papua Barat” dapat ditangani, Papua Nugini—yang berbatasan darat dengan Papua Barat di Indonesia—perlu terlibat, demikian pula Melanesian Spearhead Group.
“Dalam kebuntuan dengan Indonesia ini, terdapat banyak kepentingan yang terlibat, mengingat Indonesia memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang kuat dengan Papua Nugini dan Fiji,” kata Mapou.
“Dan itulah realitas dunia saat ini—ketegangan yang terus-menerus antara membela hak asasi manusia dan melayani kepentingan negara.”
Tindakan Berbicara Lebih Keras daripada Kata-kata
Pada 2018, Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo, memberikan undangan kepada Komisioner Hak Asasi Manusia PBB untuk mengunjungi Papua, tetapi hal itu tidak pernah terjadi.
Para pemimpin Pasifik telah meminta Indonesia untuk memfasilitasi kunjungan ke Papua Barat sejak 2019.
Pada 2023, Perdana Menteri Fiji dan Papua Nugini ditunjuk sebagai utusan khusus untuk mengunjungi kawasan tersebut.
Meskipun keduanya tidak berhasil menyelesaikan misi, kedua pemimpin tersebut pergi ke Indonesia untuk mengunjungi Presiden Prabowo Subianto.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, mengatakan kepada RNZ Pacific pada 2024 bahwa baik dia maupun mitranya, Sitiveni Rabuka, “tidak dapat menemukan waktu” di mana mereka dapat pergi bersama.
Pada KTT Pemimpin di Tonga tahun lalu, Perdana Menteri Vanuatu saat itu sekaligus ketua blok subregional untuk tahun 2024, Charlot Salwai, mengatakan ada kekhawatiran seputar Papua Barat selama beberapa waktu.
“Beberapa isu terkait hak asasi manusia… karena Forum [Kepulauan Pasifik] pada 2019 memutuskan untuk meminta misi PBB melakukan misi pencari fakta di Indonesia,” kata Salwai.
“Senang sekali bisa bertemu langsung dengan Presiden Indonesia.
“Jika ada undangan kepada para pemimpin MSG lainnya, mungkin mereka bisa pergi bersama untuk bertemu dengan presiden baru Indonesia.”
Meskipun Vanuatu mengalami ketidakstabilan politik kronis dengan lima perdana menteri dalam empat tahun, pemerintahan berturut-turut tetap konsisten dalam advokasi mereka untuk kawasan tersebut.
Kekerasan Semakin Meningkat
Menjelang pertemuan tahun ini yang dimulai Senin, Peneliti Human Rights Watch yang berbasis di Jakarta, Andreas Harsono, mengatakan konflik tersebut telah meningkat hingga setara dengan beberapa periode paling keras dalam 60 tahun terakhir.
“Orang asli Papua melarikan diri dari desa mereka. Ada konflik intensitas rendah antara pasukan keamanan Indonesia—termasuk tentara dan polisi—melawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat,” kata Harsono, seraya menambahkan bahwa kedua belah pihak yang berkonflik semakin agresif.
“Jika kita melihat apa yang disebut ‘daerah panas’ di Papua Barat, daerah tersebut menyebar di dataran tinggi tengah, dari Papua bagian tengah hingga perbatasan dengan PNG di bagian barat.”
Anggota parlemen Partai Hijau Selandia Baru, Teanau Tuiono, ingin melihat para pemimpin Pasifik menindaklanjutinya.
“Untuk berbicara dengan masyarakat guna mendapatkan perspektif mereka, sisi cerita mereka terkait pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
“Ekspansi militer ini sangat bermasalah, jadi penting bagi kami untuk menunjukkan solidaritas kami kepada saudara-saudari kami di Papua Barat.”
Secara khusus, ia ingin para pemimpin Pasifik mengutuk tindakan keras Indonesia terhadap para pengunjuk rasa yang menentang pemindahan empat tahanan politik.
Louis Mapou mengatakan ada dua kekhawatiran utama: pelanggaran hak asasi manusia dan hambatan kedaulatan di kawasan.
“Pada skala yang berbeda, kami menghadapi masalah yang sama [di Kaledonia Baru],” katanya.
“Perjuangan kemerdekaan, masa depan Kaledonia Baru, dan isu hak asasi manusia yang terkait dengan praktik penegakan hukum,” tambahnya.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!