Banten, Jubi – Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia atau HIMAS yang diperingati setiap 9 Agustus, bukan sekadar perayaan tahunan.
Namun bagi masyarakat adat di Indonesia, HIMAS adalah momentum perlawanan dan pengingat atas sejarah panjang perampasan hak, marginalisasi, serta ancaman terhadap keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Tahun ini, peringatan HIMAS digelar di Kasepuhan Guradog, Kabupaten Lebak, Banten dengan mengusung tema “Memperkuat Hak Menentukan Nasib Sendiri: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan.”
Rangkaian kegiatan peringatan HIMAS 2025, berlangsung pada 7 Agustus 2025 hingga 9 Agustus 2025.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, tema peringatan HIMAS tahun ini merefleksikan semangat dan komitmen masyarakat adat dalam memperjuangkan hak dasarnya, untuk menentukan arah hidup dan masa depan mereka secara mandiri.
Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah fondasi utama bagi keberlangsungan masyarakat adat, karena tanpa pengakuan atas tanah, sumber daya, serta kedaulatan atas pengetahuan lokal, masyarakat adat kehilangan pijakan untuk menjaga hidup dan menata generasi mendatang.

Pada rangkaian peringatan HIMAS tahun ini, ratusan peserta dari tujuh region, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berkumpul di Kasepuhan Guradog.
Menggelar pertemuan, konsolidasi, pelatihan, dan perayaan budaya. Peserta terdiri dari perempuan pemimpin adat dan jurnalis nasyarakat adat, dua elemen penting dalam penguatan gerakan di komunitas masing-masing.
“Dua forum utama sebelum puncak perayaan HIMAS 2025 adalah konsolidasi perempuan pemimpin adat dan konsolidasi jurnalis masyarakat adat Nusantara,” kata Rukka, Sabtu (9/8/2025).
Rukka Sombolinggi mengatakan, forum perempuan menjadi ruang strategis untuk memperkuat peran perempuan adat sebagai penjaga wilayah, hutan, dan tradisi.
Sementara itu, konsolidasi jurnalis masyarakat adat Nusantara menjadi ajang berbagi strategi dan pengalaman, dalam menguasai narasi serta memperjuangkan hak-hak masyarakat adat melalui media.
“Pada puncak acara ini, juga dideklarasikan Asosiasi Jurnalis Masyarakat Adat Nusantara (Asosiasi JMA Nusantara) sebagai wadah resmi bagi para jurnalis masyarakat adat dari seluruh nusantara, sebuah langkah penting dalam memperkuat suara komunitas dari akar rumput,” ujarnya.
Rukka menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kontribusi perempuan adat yang kerap terabaikan dalam sejarah resmi.
Menurutnya, banyak perempuan pejuang yang tidak pernah disebutkan namanya, padahal merekalah yang menjaga wilayah adat. Perjuangan perempuan adat harus mendapat pengakuan yang setara.
Rukka juga menyoroti peran vital jurnalis masyarakat adat, yang disebut bukan hanya pencatat peristiwa, tetapi pejuang yang menghubungkan kisah-kisah dari wilayah adat ke dunia luar.
“Gunakan ujung pena kita untuk memperjuangkan kedaulatan di tanah leluhur. [Sebab] bagi masyarakat adat, kedaulatan pangan bukan sekadar cukup makan. Namun lahir dari sistem pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, dijalankan dengan gotong royong, dan diputuskan melalui musyawarah,” kata Rukka Sombolinggi.
Sekjen AMAN itu juga mengecam keras proyek-proyek seperti Program Strategis Nasional atau PSN dan food estate yang merusak wilayah adat atas nama ketahanan pangan nasional.
Tempat terbaik yang dijaga Masyarakat Adat dirampas dan dihancurkan. Namun belum ada undang-undang yang mengakui masyarakat adat secara utuh. Karena itu, perjuangan mempertahankan wilayah adat harus terus digelorakan.
Ia menegaskan, hak menentukan dan mengatur diri sendiri adalah prasyarat mutlak untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang sejati.
Pangan bukan sekadar makanan. Pangan adalah warisan, pengetahuan, dan spiritualitas yang tumbuh di tanah leluhur, dikerjakan dengan sistem kita sendiri
“Hari ini, 9 Agustus yang merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, bukan hadiah dari negara atau PBB. Ini hasil perjuangan panjang masyarakat adat di seluruh dunia, bahkan sebelum PBB berdiri. Leluhur kita telah lama berkata: jangan rampas wilayah adat kami, jangan rampas tanah leluhur kami,” ucapnya.
Rukka menegaskan kembali tuntutan utama gerakan hak sebagai masyarakat adat secara nasional belum diakui, sehingga terus menyerukan pengesahan Rancanga Undang-Undang Masyarakat Adat. (*)