Sorong, Jubi – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan Cipayung Plus (HMI, PMII, GMNI, dan HMI MPO) menggelar aksi unjuk rasa di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (2/9/2025). Massa memulai aksi dari Kampus Universitas Muhammadiyah Sorong (Unamin) sekitar pukul 11.40 WP. Mereka melakukan long march sejauh 2 kilometer menuju Kantor DPR Kota Sorong.
Sepanjang perjalanan, mahasiswa bergantian menyampaikan orasi terkait isu-isu nasional hingga daerah yang mereka perjuangkan. Sekitar pukul 13.48 WP, massa tiba di halaman DPR Kota Sorong. Mereka disambut langsung oleh Wakil Ketua I DPRD Kota Sorong Syahrir Nurdin, Wakil Ketua II DPR Kota Sorong Ricky Taneri, Sekwan DPRK, serta sejumlah anggota dan staf dewan. Aksi tersebut berlangsung tertib dengan pengawalan ketat aparat keamanan.
Para pimpinan dan anggota DPRK bahkan duduk lesehan bersama mahasiswa untuk mendengarkan aspirasi mereka. Dalam aksi itu, mahasiswa menuntut DPRK segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menindaklanjuti berbagai persoalan hukum, sosial, lingkungan, hingga pendidikan yang mereka angkat.
Mahasiswa juga mendesak agar pemerintah daerah segera memulihkan kondisi masyarakat yang terdampak kericuhan, khususnya pedagang kecil dan pemilik warung yang fasilitasnya rusak akibat bentrokan.
Dalam orasinya,
Ketua DPC GMNI Kota Sorong, Angky Dimara, menyoroti secara tajam kasus penembakan terhadap Ade Maikel Welerubun. Hingga kini, korban masih terbaring lemah di RS Sele Be Solu Kota Sorong akibat luka tembak yang diduga dialaminya saat aksi masyarakat berlangsung.
Korban penembakan, Ade Maikel Welerubun sampai sekarang masih terbaring di rumah sakit. “Pertanyaan kami sederhana: siapa yang menembak? Dari institusi mana? Sampai hari ini tidak ada jawaban. Itu yang membuat kami marah dan kecewa,” kata Angky.
Ia menambahkan, negara wajib hadir memberi kepastian hukum. “Kami tegaskan, kasus penembakan Ade Maikel Welerubun harus diusut tuntas sampai pelakunya ditemukan dan diadili,” ujar Angky.
Menurutnya, bantuan pemerintah untuk pemulihan korban memang penting, tetapi tidak bisa menggantikan keadilan.
Lebih jauh, ia mengecam sikap aparat di lapangan yang dinilai tidak profesional. “Aparat seharusnya melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti. Kapolres harus dievaluasi, bahkan bila perlu diganti, supaya ada perbaikan nyata,” ujar Angky.
Di tempat yang sama, Ketua Umum BADKO HMI Papua Barat–Papua Barat Daya, Abdul Qadir Loklomin, dalam orasinya menegaskan bahwa aksi ini lahir dari keresahan rakyat, bukan sekadar protes seremonial.
“Kami datang bukan untuk cari sensasi, tapi untuk menyuarakan kebenaran yang selama ini dibungkam. DPRK jangan hanya jadi penonton, tapi harus hadir mengawal kepentingan rakyat,” kata Abdul Qadir.
Ia menilai hukum di Papua Barat Daya kerap dijadikan alat kekuasaan, bukan keadilan. Abdul Qadir mencontohkan sejumlah mahasiswa yang ditangkap lalu dilepas tanpa alasan jelas. “Itu bukti hukum dipakai untuk menakut-nakuti rakyat. Negara seharusnya melindungi, bukan menindas,” ujarnya.
Selain persoalan hukum, Abdul Qadir juga menyoroti maraknya proyek strategis nasional (PSN) seperti tambang dan sawit yang merampas tanah adat. Ia mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai instrumen hukum untuk melindungi masyarakat adat Papua. Kalau negara serius melindungi rakyat, buktikan dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Itu harga mati,” katanya.
Sorakan massa semakin riuh saat orasi disambung oleh sosok yang menyebut dirinya “Presiden Timur”, Warlan Warman. Ia mengecam instruksi Presiden Prabowo Subianto yang memerintahkan aparat menembak di tempat terhadap pelaku aksi anarkis.
“Kalau Prabowo punya TNI-Polri, saya punya suanggi se-Nusantara,” ujar Warlan, disambut tepuk tangan mahasiswa.
Warlan menilai pendekatan militeristik hanya akan memperpanjang luka rakyat. Ia bahkan mengingatkan sejarah lepasnya Timor Leste sebagai akibat kegagalan pemerintah mendekati rakyat dengan cara damai.
“Kalau pola ini diulang di Papua, jangan salahkan rakyat jika mengambil sikap sendiri. Demokrasi tidak bisa dipadamkan dengan peluru,” ujarnya lantang.
Sementara itu, Wakil Ketua II DPR Kota Sorong, Ricky Taneri, menyampaikan apresiasi atas aksi damai yang digelar mahasiswa. Ia menegaskan DPR Kota Sorong berkomitmen menindaklanjuti aspirasi tersebut.
“Aspirasi itu sudah kami bahas, dan dalam 1–2 hari ke depan akan masuk ke fraksi-fraksi untuk persiapan pembentukan Pansus,” kata Ricky.
Pansus akan beranggotakan maksimal 15 orang dari berbagai fraksi. Meski mahasiswa tidak bisa masuk secara struktural, DPR Kota Sorong berjanji melibatkan mereka dalam setiap pembahasan.
“Setiap kali pansus membahas dengan dinas terkait, mahasiswa akan diundang untuk hadir dan memberikan pandangan,” katanya.
Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Cipayung Plus Sorong:
- Hentikan Kekerasan Negara
Menuntut DPRK membentuk pansus independen untuk mengusut penembakan warga sipil di Sorong dan menghentikan tindakan represif aparat. - Tegakkan Akuntabilitas
Mendesak pencopotan aparat dan pejabat yang gagal melindungi rakyat, serta menggantinya dengan figur yang berpihak pada kepentingan rakyat. - Sahkan RUU Masyarakat Adat
Menuntut DPR RI segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum perlindungan tanah dan hak-hak masyarakat adat Papua.
Dengan Tritura ini, Cipayung Plus menegaskan posisinya sebagai barisan kritis mahasiswa Papua Barat Daya yang berdiri di garda depan melawan kekerasan negara, sekaligus mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat.
Aksi berakhir dan mahasiswa bersama jajaran DPR Kota Sorong melakukan pembersihan sampah plastik yang berserakan di halaman gedung dewan sebagai simbol komitmen menjaga lingkungan dan kedamaian.(*)