Jayapura, Jubi – Sepintas memang ada kemiripan bahasa antara suku Biak dengan warga masyarakat di Kampung Menarbu, Aisandami, dan di Kepulauan Roon, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua. Meskipun terdapat perbedaan dalam dialek, kedua suku tersebut dapat saling memahami dalam percakapan maupun dialog.
“Kitorang sebut ikan itu in. Kalau menyebut ikan kerapu, kami bilang insamen, ikan julung disebut in sof, dan dalam perhitungan juga ada kemiripan, bahkan mungkin sama. Misalnya: oser (satu), suru (dua), kior (tiga),” kata tokoh masyarakat Kampung Aisandami, Octovianus Bosayor (62), kepada Jubi.id belum lama ini.
Ia menambahkan, beberapa sebutan lainnya pun serupa. Misalnya, penyu dalam bahasa Roon disebut wau, sama seperti dalam bahasa Biak. “Begitu pula dengan hutan bakau disebut kor, dan ikan kakatua disebut in dwaranmen,” ujarnya seraya menambahkan bahwa hubungan kekerabatan antara mereka sudah lama terjalin.
Hal senada disampaikan Sekretaris Klasis Teluk Wondama, Leo Rumansara. Ia menyebutkan bahwa di Kepulauan Roon juga terdapat warga bermarga atau berklen Rumansara. “Saya pernah bertemu mereka. Mereka tinggal di sana karena dulu, dalam perjalanan mengayau atau perang suku, mereka menetap,” katanya.
Sementara itu, D. Rifanto, salah seorang penulis di Kompasiana, menulis tentang tokoh asal Pulau Roon bernama Celcius Akwan yang menulis buku berjudul Ditawan Naga, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia Jakarta.
Lebih lanjut, D. Rifanto, mahasiswa program doktoral Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menulis bahwa sekitar tahun 1989, C. Akwan diminta secara tertulis oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, untuk menyumbangkan cerita rakyat dari Irian Jaya. Buku itu kemudian diterbitkan dengan judul Ditawan Naga pada 1991.

Dalam buku tersebut, C. Akwan, intelektual asal Pulau Roon, ingin memperjelas makna “naga” dalam mitologi masyarakat Roon–Wondama–Windesi, Biak–Numfor, dan Yapen–Waropen di Teluk Cenderawasih. Dalam cerita rakyat itu, naga juga bisa berarti ular raksasa. Cerita rakyat mereka tentang Roponggai berkaitan dengan kepercayaan bahwa ular naga adalah penyebab gempa bumi.
Di masa purba, ular naga yang sangat besar dan buas menimbulkan kehancuran besar hingga membentuk Teluk Cenderawasih. Dalam bahasa modern, ular naga itu diartikan sebagai gempa bumi yang sangat dahsyat dan menewaskan banyak orang. C. Akwan juga menulis buku tentang teater dan Koreri, mitologi Manarmakeri dari suku Byak.
Menurut Dr. J.R. Mansoben, antropolog lulusan Universitas Leiden, Belanda, masyarakat suku Byak memiliki rekan dagang yang dalam bahasa Biak disebut manibob.
Mansoben menyebutkan, dalam kegiatan perdagangan, orang Biak menggunakan perahu Mansusu, sementara perahu Wairon digunakan untuk berperang oleh orang tua Biak zaman dahulu. Mansusu adalah perahu niaga yang digunakan untuk memuat hasil pelayaran seperti bahan pangan dan harta kawin. Bahkan para Sinan Kamasan atau tukang pandai besi berdagang perahu suku Biak yang dikenal sebagai parang sowek ke seluruh Papua, bahkan sampai ke Papua Nugini.
Sebelum ke PNG, mereka biasa singgah dulu di Pulau Komamba di Sarmi dan Abe Pantai di Jayapura.
Demikian pula dalam pelayaran Dennis Koibur menggunakan perahu Wairon dalam ekspedisinya ke Milne Bay, PNG. Mereka melewati Pulau Kar Kar—atau dalam bahasa Biak disebut Mios Kar Kar—yang berarti “pulau yang patah” akibat gelombang atau “perahu yang hancur di pulau itu karena gelombang besar.”
Wairon adalah perahu ramping yang digunakan untuk berperang. Bagi suku Biak pada abad ke-19, perahu ini menunjukkan status sosial. Wairon tidak menggunakan layar dan memiliki bentuk simetris di depan dan belakang, sehingga memudahkan pendayung untuk berbalik arah. Namun, jika digunakan untuk berniaga, perahu ini akan dipasangi layar agar dapat berlayar lebih cepat.
Dennis Koibur telah melakukan ekspedisi dengan perahu Wairon ke Milne Bay, PNG, dan ke Raja Ampat. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!