Jayapura, Jubi – Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat, Viktor Yeimo menyampaikan nota pembelaan/pledoi atas kasus makar yang didakwakan kepadanya. Pledoi itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Kamis (4/5/2023).
Dalam pledoi yang dibacakannya sendiri, Viktor Yeimo menyatakan perkara makar yang didakwakan kepadanya merupakan tuduhan diskriminatif dan penuh nuansa politis. Yeimo menekankan persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura gagal membuktikan Yeimo telah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, apalagi melakukan makar.
Kasus dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terkait dengan demonstrasi anti rasisme Papua untuk memprotes ujaran rasial yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019. Yeimo didakwa makar karena dianggap memotori demonstrasi yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019.
Perkara makar itu terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).
Pada 27 April 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Viktor Yeimo terbukti melakukan makar, dan menuntutnya dengan hukuman pidana penjara 3 tahun. Tuntutan JPU itulah yang dijawab Yeimo dengan nota pembelaan yang dibacakannya pada sidang Kamis.
Saat membacakan pledoinya, Yeimo menyatakan semua saksi yang dihadirkan JPU justru telah membuktikan fakta bahwa dirinya tidak merencanakan ataupun mengkoordinir demonstrasi tolak rasisme Papua yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019. “Pada aksi 19 Agustus 2019, saya ikut sebagai peserta aksi tolak rasisme, dan ikut berperan mengamankan aksi damai atas permintaan mahasiswa hingga selesai,” kata Yeimo.
Ia menekankan kesaksian Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih pada tahun 2019, Feri Kombo yang menyatakan Viktor Yeimo tidak mengikuti rapat perencanaan dan tidak mengkoordinasikasi massa demonstrasi anti rasisme Papua. Saat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan pada 7 Februari 2023 lalu, Kombo menyatakan Viktor Yeimo baru berorasi setelah diminta massa, dan orasi itu justru dilakukan agar tidak terjadi keributan di antara massa aksi.
“Saya ikut memberi orasi [berisi] kekecewaan terhadap tindakan rasisme di Surabaya. Aspirasi tersebut merupakan hak konstitusi yang dilindungi oleh undang-undang negara ini. Hal itu sudah disampaikan secara ilmiah oleh Saksi Ahli Tata Negara, Saksi Ahli Filsafat, saksi Ahli Pidana dan Saksi Ahli Resolusi konflik yang dihadirkan,” kata Yeimo dalam pembacaan pledoinya.
Yeimo juga menegaskan dirinya tidak pernah mengikuti demonstrasi anti rasisme Papua yang berlangsung di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019. “Aksi tanggal 29 Agustus 2019, saya tidak ikut merencanakan, mengkoordinir atau menjadi peserta. Hal itu diakui oleh semua saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Saya mengakui bahwa [saya] mengambil gambar dan video di depan Kantor Majelis Rakyat Papua dan [Kantor] Gubernur, tanpa ikut serta dalam aksi tersebut,” kata Yeimo.
Ia menjelaskan dirinya mengambil foto dan video untuk dibagikan kepada wartawan dan publik di luar Papua, karena saat itu pemerintah pusat memutus jaringan internet di Papua. “Atas pemutusan [jaringan internet itu], Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memvonis Presiden Jokowi bersalah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar Yeimo.
Respon atas ujaran rasial di Surabaya
Yeimo menegaskan dirinya tidak terlibat dalam demonstrasi 29 Agustus 2019 itu, dan tidak bertanggung jawab atas dampak kekacauan yang terjadi pada demonstrasi itu. Ia juga menekankan bahwa demonstrasi anti rasisme Papua pada 19 Agustus 2019 adalah aksi spontan orang Papua maupun orang non-Papua untuk menyikapi ujaran rasial yang dilontarkan kepada mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
“Aksi anti rasisme 2019 yang terjadi secara luas di seluruh Tanah Papua adalah aksi spontan orang Papua maupun simpatisan non Papua dari segala latar belakang—baik pegawai, swasta, mahasiswa, pelajar, petani, TNI/Polri, dan sebagainya. Saat itu, semua orang menyikapi ujaran rasis di Surabaya. Aksi di Jayapura dikoordinir mahasiswa dan kelompok Cipayung. Tidak ada perencanaan, permufakatan, apalagi tindakan makar sebagaimana yang dituduhkan. Kehadiran saya memberi orasi adalah bagian dari rakyat Papua yang merasa korban penghinaan ras. Saya menolak segala dakwaan dan tuntutan yang menghubungkan saya dengan latar belakang organisasi dan aktivitas lain yang tidak ada hubungan langsung dengan fakta aksi tolak rasisme saat itu,” kata Yeimo dalam pledoinya.
Yeimo juga menjelaskan bahwa materi orasinya pada demonstrasi 19 Agustus 2019 mengkritik persoalan sentimen dan diskriminasi rasial di Indonesia. Menurutnya, persoalan rasial di Indonesia bukan lagi urusan personal, namun merupakan persoalan sistemik yang justru dipelihara agar menjadi kendaraan politik ekonomi penguasa.
“Tidak dapat disangkal, pandangan rasis menyebabkan perlakuan yang berbeda terhadap Papua, dalam segala bentuk dan segi kehidupan orang Papua. Segala stigma negatif yang dilekatkan kepada orang Papua itulah yang menyebabkan aparat negara dan organisasi kemasyaratan menyerang Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya,” kata Yeimo.
Pledoi Yeimo menggugat persoalan diskriminasi rasial yang berulang-ulang dihadapi oleh orang Papua, namun dianggap wajar dan dibiarkan oleh Negara. Sebaliknya, ketika orang Papua memprotes ketidakadilan dan diskriminasi rasial itu, Negara hadir menghantam orang Papua dengan pasal makar dan tuduhan provokasi.
“Perkara sidang ini membuktikan hal itu, bahwa rasisme itu benar-benar ada dalam segala tuduhan dan dakwaan ini. Pernahkah Negara dan aparaturnya menjawab mengapa ras bangsa Papua menjadi minoritas, hanya tersisa 2,9 juta jiwa, sementara [di] Papua Nugini sudah [ada] 17 juta jiwa penduduk [ras bangsa Papua]?” Yeimo bertanya.
Pledoi yang menjawab dakwaan dan tuntutan makar terhadap Viktor Yeimo itu juga mengkritik kegagalan Indonesia membangun Papua. Ia mempertanyakan kenapa Tanah Papua terus menduduki peringkat pertama tingkat kemiskinan penduduknya. Yeimo juga mempertanyakan mengapa Indeks Pembangunan Manusia di Tanah Papua selalu menjadi yang terendah di Indonesia.
Nota pembelaan yang dibacakan Yeimo juga menyoroti perbedaan cara yang dipakai pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik bersenjata maupun aspirasi kemerdekaan di Aceh dan Papua. “Jawaban dari konflik Aceh adalah perundingan damai, tetapi jawaban konflik Papua adalah senjata dan penjara. Kenapa?”
Viktor Yeimo menyoroti Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, hingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Lama) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Akan tetapi, berbagai undang-undang itu seolah tidak berlaku di Papua, dan pelaksanaannya tidak berpihak kepada Orang Asli Papua.
“Bukankah itu suatu kejahatan terstruktur terhadap kami orang Papua? Bisakah pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh jaksa dan Negara ini? Ataukah jawabannya memang harus ada di moncong senjata dan ketuk palu hakim? Kenapa Negara ini menghindari kajian dan solusi [yang direkomendasikan lembaga negara seperti] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan lain-lain, lalu membawa rakyat dan kemanusiaan Indonesia dalam ruang kegelapan yang paling gelap dari ruang penjara saya di Lapas Abepura,” kata Yeimo saat membacakan pledoinya.
Hanya berdasar saksi ahli bahasa
Dalam sidang Kamis, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku penasehat hukum Viktor Yeimo juga menyampaikan pledoi yang dibacakan advokat Emanuel Gobay. Gobay menyatakan kesimpulan JPU yang menyatakan Viktor Yeimo terbukti melakukan makar hanya didasarkan keterangan saksi ahli bahasa. Gobay menegaskan saksi ahli bahasa tidak memiliki kompetensi untuk membukti unsur tindak pidana delik makar dalam rumusan Pasal 106 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan kepada Yeimo.
“Kami juga menunjukan fakta bahwa selama persidangan JPU tidak pernah menghadirkan ahli pidana dalam persidangan. Kemudian [JPU] berpatokan kepada ahli bahasa, kemudian menyimpulkan [dakwaan makar kepada Viktor Yeimo] terbukti,” ujar Gobay.
Gobay menyatakan pihaknya telah menghadirkan sejumlah saksi ahli yang menjelaskan unsur delik makar, termasuk unsur niat, memisahkan wilayah, serta unsur penyertaan. “Berdasarkan keterangan saksi yang kami hadirkan, saksi yang jaksa hadirkan, saksi ahli yang kami hadirkan—semua unsur dari dakwaan satu [yakni] Pasal 106 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak terbukti,” kata Gobay.
Gobay mengharapkan Majelis Hakim dapat melihat kembali semua fakta persidangan perkara Yeimo. “Kami berharap hakim bisa kembali kepada fakta persidangan, dan melihat lagi data yang sudah disampaikan ahli filsafat hukum Dr Tristam Pascal Moeliono SH MH LLM, ahli Hak Asasi Manusia Dr Herlambang P Wiratraman SH MA, ahli resolusi konflik di Papua Prof Dr Cahyo Pamungkas SE MS, dan ahli hukum pidana Dr Amira Paripurna SH LLM PhD yang kami hadirkan,” kata Gobay.
Gobay meminta Majelis Hakim memutus bebas Viktor Yeimo. “Pada bagian kesimpulan, kami minta dengan tegas untuk klien kami dibebaskan, karena semua unsur-unsur yang dituduhkan tidak terbukti. Kita juga minta agar nama baik klien kami direhabilitasi, dan biaya perkara diberikan kepada Negara,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!