Jayapura, Jubi – Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau SKPKC Fransiskan Papua meluncurkan buku seri Memoria Passionis No. 41 dengan judul “Terpasung di Rumah Sendiri”. Pelucuran itu berlangsung di Kota Jayapura, Kamis (27/4/2023).
Buku seri Memoria Passionis merupakan laporan berkala SKPKC Fransiskan Papua yang berisi paparan kronologi peristiwa dan analisa atas situasi sosial, politik, dan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Memoria Passionis No. 41 dengan judul “Terpasung di Rumah Sendiri” itu ditulis Paskalis Kossay, Frits Ramandey, Hipolitus Wangge, Helmi, Petrus Pit Supardi, dan tim dari SKPKC Fransiskan Papua.
Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo menyatakan Memoria Passionis tidak semata-mata ingatan akan penderitaan. Buku seri Memoria Passionis menjadi catatan sejarah yang menjadi bukti tentang keberadaan suatu masyarakat atau bangsa bernama Papua.
“Buku Memoria Passionis ditulis berdasarkan kronik. Di Indonesia, kita mengenal Kronik Revolusi Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, Ediati Kamil, dan Koesalah Soebagyo. Nama yang terakhir juga menyusun Kronik Irian Barat. Memoria Passionis meneruskan tradisi itu agar peristiwa Papua terekam secara baik dan rapi,” kata Langowuyo dalam siaran pers yang diterima Jubi, pada Kamis (27/4/2023).
Ia menyatakan buku Memoria Passionis No. 41 ini diberi judul “Tarpasung di Rumah Sendiri”, karena sepanjang 2022 banyak suara kritis tentang kebenaran dan keadilan yang diabaikan pengambil kebijakan atau Negara. Langowuyo menyatakan banyak orang ditahan dan ditangkap karena menyuarakan kebenaran dan keadilan. “Ruang gerak untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi selalu mendapat tekanan ketika mengkritisi apa yang sedang di terjadi di Tanah Papua,” ujarnya.
Langowuyo menyatakan buku Memoria Passionis 2022 terbagi dalam empat bab. Bab pertama menghadirkan sejumlah highlight atau isu penting pada 2022, yakni Otonomi Khusus Jilid II, Daerah Otonom Baru, dan wacara dialog Jakarta – Papua yang digagas oleh Komnas HAM RI.
Bab kedua memuat analisis bidang pertahanan dan keamanan serta konflik bersenjata di Papua. Bab ketiga membahas bidang sipil dan politik, khususnya penyelesaian kasus-kasus HAM Papua, kebebasan berekspresi maupun korupsi. Bab keempat menyentil kembali persoalan Hak Dasar dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang tak kunjung membaik.
Langowuyo menyatakan setiap bab terdiri dari kronik yang menjadi catatan sejarah, serta analisis sebagai sikap kritis untuk membaca kronik Papua secara lebih komprehensif dan reflektif. Ia menyebut informasi tentang Papua seringkali tidak utuh dan stigmatik, sehingga pemahaman komprehensif maupun refleksi sangat dibutuhkan. “Refleksi dibutuhkan sebelum menetapkan suatu kebijakan baru non afirmatif di Papua,” katanya. (*)