Jayapura, Jubi – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia atau PMKRI Cabang Jayapura, PMKRI Cabang Timika, dan PMKRI Cabang Manokwari mendesak pelaku kekerasan dan penembakan warga sipil di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, segera diproses secara hukum. Mereka juga mendesak adanya evaluasi terhadap TNI/Polri yang bertugas di Tanah Papua.
Penembakan warga sipil di Wamena terjadi pada 23 Februari 2023, ketika polisi menangani amuk massa dan terlibat bentrokan dengan warga di Sinakma, Wamena. Amuk massa itu dipicu oleh beredarnya kabar tentang penculikan anak. Insiden itu menyebalkan sedikitnya 11 warga sipil meninggal dunia, dan 23 warga sipil lainnya terluka.
Sejumlah 18 personel TNI/Polri juga terluka dalam insiden itu. Amuk massa di Wamena juga mengakibatkan 13 rumah, dua toko, dan sejumlah kendaraan dibakar massa.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Jayapura, Thalia Ohoitimur menyinggung soal adanya permintaan keluarga korban kepada pemerintah untuk membayar denda kepala bagi para korban meninggal dalam peristiwa 23 Februari 2023. Ohoitimur menyatakan pembayaran uang apapun kepada keluarga korban tidak menghapuskan perbuatan pidana maupun proses hukum bagi para pelaku penembakan warga sipil di Wamena itu.
Ohoitimur menyatakan kasus penembakan yang dilakukan aparat keamanan kepada masyarakat sipil di Papua sudah terlalu sering terjadi. Ia menyatakan pelaku penembakan di Wamena harus diproses secara hukum, untuk memberikan efek jera. “Kita harus mengikuti hukum positif yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Ketua PMKRI Cabang Manokwari, Yostan P Hilapok menyatakan harus ada investigasi yang serius atas kasus kekerasan dan penembakan di Wamena. Hilapok juga menekankan pentingnya pelaku diproses hukum yang seadil-adilnya dan tidak berpihak.
“Siapa pun pelaku penembakan itu, begitu pula pelaku perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, termasuk aksi pembakaran, harus diproses dan diadili sesuai hukum dan perundangan yang berlaku,” kata Hilapok dalam keterangan tertulis yang diterima Jubi pada Rabu (1/3/2023).
Hilapok menyatakan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 dengan jelas mengurai aturan penanganan aksi massa harus ditangani dengan cara yang profesional agar tidak menimbulkan korban jiwa. Hilapok menilai aparat keamanan terlalu represif dalam menangani aksi massa di Wamena.
“Peristiwa yang terjadi di Wamena itu menunjukkan berulangnya kasus kekerasan yang merenggut nyawa banyak warga sipil di Papua. Tindakan kekerasan, apalagi sampai menimbulkan banyak korban jiwa, hanya akan meningkatkan eskalasi lingkaran kekerasan dan konflik yang merugikan kita semua,” ujarnya.
Ketua PMKRI Cabang Timika, Mersi Sundung menyatakan perlu ada evaluasi terhadap TNI/Polri yang bertugas di Papua. Menurut Mersi yang terjadi di Wamena akibat dari pendekatan militer yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua. Ia menyatakan pendekatan militer di Papua tidak membuat warga sipil merasa dilindungi, dan justru menimbulkan trauma. “Jika Indonesia masih mau mengakui bahwa Papua bagian dari NKRI, maka stop dengan pendekatan secara militer di Papua,” kata Mersi saat dihubungi Jubi, pada Kamis (2/3/2023).
Mersi menyatakan nyawa orang Papua jangan dianggap murah, karena dianggap bisa dibayar dengan uang setiap kali ada korban jiwa. Menurut Mersi, itu bukanlah solusi konkrit menyelesaikan masalah di Papua.
Ia menyatakan warga Papua berhak hidup damai dan sejahtera di tanah mereka sendiri. Mersi mendesak Komnas HAM RI untuk mengusut tuntas fakta kasus di Wamena yang sedikitnya 11 warga sipil meninggal dunia secara transparan. “Papua kini sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Mersi juga menyatakan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. “Apapun alasannya, pemerintah harus bertanggung jawab dengan kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua,” ujarnya. (*)