Jayapura, Jubi – Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan pengerahan TNI/Polisi ke Papua semakin memperburuk situasi kebebasan sipil. Menurut Fatia, Pemerintah Indonesia harus menghentikan pendekatan militerisme di Papua.
Fatia menyatakan analisa KontraS memperkirakan sebanyak 15.000 aparat gabungan TNI/Polri telah diterjunkan menuju Papua hingga akhir 2022. Belasan ribu prajurit TNI/Polri diterjunkan ke Papua dengan berbagai tujuan, seperti operasi keamanan, penumpasan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, perbantuan organik, hingga pengamanan objek vital nasional.
“Catatan kami memperlihatkan bahwa kebebasan sipil di Papua mengalami kemerosotan yang cukup banyak dengan adanya beberapa operasi militer dan beberapa kebijakan berdampak [bagi] keamanan orang Papua,” kata Fatia kepada Jubi usai kuliah umum bertajuk “Meninjau Kebebasan Sipil di Papua: Betulkah Dibatasi Demi Kepentingan Jakarta?”, yang diselenggarakan KontraS dan Amnesty International Chapter Universitas Cenderawasih di Kota Jayapura pada Rabu (17/05/2023).
Fatia menyatakan kehadiran militer di Papua diikuti munculnya kasus penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pelarangan demonstrasi. Data KontraS periode Oktober 2019 hingga Desember 2022 mencatat ada 34 kasus penangkapan sewenang-wenang, 31 kasus pembubaran paksa, sembilan kasus penganiayaan, delapan penembakan warga, tujuh pelarangan, empat kasus teror, dua kasus intimidasi, satu kasus persekusi, dan satu kasus kriminalisasi.
“Hari ini situasi di Papua dikendalikan pemerintah pusat demi kepentingan orang tertentu, baik bisnis maupun pemerintah, tetapi serta merta tidak berdampak positif kepada masyarakat di Papua,” ujarnya.
Fatia menyatakan akar persoalan yang terjadi di Papua harus diselesaikan melalui pendekatan kemanusian, keadilan, dan representasi. Fatia menyatakan jika pemerintah memperhitungkan soal nasib dan situasi di Papua, maka warga di Papua harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan.
“Tentu saja dalam pembentukan kebijakan seharusnya melibatkan partisipasi warga sipil orang asli Papua dalam forum formal untuk memberikan rekomendasi serta menyatakan situasi dan kebutuhan masyarakat Papua. Itu yang bisa jawab adalah orang-orang Papua, yang selama ini tidak ditanya sama Negara,” katanya.
Fatia juga menyatakan pemerintah harus melakukan evaluasi atas kehadiran TNI/Polisi di Papua. Evaluasi itu penting guna mengetahui kehadiran TNI/Polisi efektif dan berdampak bagi kesejahteraan warga Papua.
“Bagaimana sesungguhnya operasi militer juga menjadi akar persoalan yang terjadi di Papua. [Kehadiran] 15.000 TNI/Polisi apakah efektif dan berdampak bagi kesejahteraan warga Papua,” ujarnya.
Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau SKPKC Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo menyatakan banyak aksi di Papua yang direpresi aparat keamanan. Menurut Langowuyo, itu menunjukan adanya diskriminasi terhadap orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya.
“Sangat buruk, kebebasan ekspresi di Papua. Diskusi di asrama, mimbar bebas, aksi demonstrasi, bahkan diskusi ilmiah juga dibubarkan,” ujarnya.
Langowuyo menyatakan Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi warga Papua untuk mengekspresikan pendapatnya terkait kebijakan Negara. Langowuyo menyatakan kebebasan itu dijamin oleh konstitusi di negara ini. Akan tetapi dalam praktiknya kebebasan ekspresi orang Papua selalu berhadapan dengan aparat keamanan.
“Kita mau bicara soal kita punya hak, terus dapat bubar, dapat pukul, terlalu biasa [atau sering] sampai kita anggap hal biasa. Padahal tidak boleh, [itu] diskriminasi, [dan] keadaan itu tidak normal di negara demokrasi. Di sini buruk sekali kebebasan ekspresi,” katanya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia menyatakan kondisi yang terjadi di Papua disebabkan ada benturan kepentingan. Hetharia menyatakan represi aparat TNI/Polisi menunjukan mereka tidak paham akan hidup bernegara. “Perilaku TNI/polisi [itu] tidak mengerti hidup bernegara. Contoh yang menimpa siswa SMA di Sentani,” ujarnya.
Hetharia menyatakan kebebasan merupakan Hak Asasi Manusia. Hetharia menyatakan negara seharusnya hadir memberikan perlindungan bagi masyarakatnya. “Negara ada untuk melindungi masyarakat. Negara tidak boleh melakukan kekerasan terhadap masyarakat. Kalau polisi atau tentara tidak melakukan pekerjaan secara profesional maka melanggar Undang-Undang,” ujarnya. (*)