Jayapura, Jubi – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Edwin Partogi menyatakan pihaknya akan memberikan perlindungan bagi para saksi dan keluarga korban kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika. LPSK akan memberangkatkan tim untuk menelaah bentuk perlindungan yang dibutuhkan para saksi dan keluarga korban mutilasi Mimika.
Hal itu dinyatakan Edwin Partogi saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Rabu (25/1/2023). “Betul, [para saksi dan korban kasus mutilasi Mimika] sudah dalam perlindungan LPSK,” kata Edwin.
Edwin menyatakan LPSK akan memberangkatkan tim ke Papua, untuk memastikan perlindungan itu. “Sepertinya tim LPSK ke Papua [dalam] minggu ini,” ujarnya.
Ia menyampaikan ada dua bentuk perlindungan yang diberikan, yakni perlindungan hak prosedural, dan perlindungan pendampingan hukum. Menurut Edwin, perlindungan yang diberikan itu akan didasarkan hasil penelaahan LPSK berdasarkan kebutuhan dan situasi dari pemohonnya.
Staf Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus menyatakan pihaknya telah mengirimkan surat permohonan perlindungan saksi ke LPSK pada 3 November 2023. Permohonan perlindungan diajukan setelah KontraS melakukan investigasi dan rapat bersama advokat dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua yang menjadi kuasa hukum keluarga korban pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika.
“Setelah kami investigasi di Timika, ternyata empat keluarga korban diperiksa di Kepolisian Resor Timika dan Sub Detasemen Polisi Militer Timika. Maka dari itu, salah satu upaya memberikan jaminan kepada keluarga korban yang diperiksa sebagai saksi, kami mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK,” kata Andrie saat dihubungi Jubi pada Minggu (22/1/2023) malam.
Andrie menyatakan setidaknya ada lima permohonan perlindungan yang diajukan ke LPSK. Kelima permohonan perlindungan itu, yakni perlindungan fisik, perlindungan prosedural, perlindungan hukum, bantuan psikologis dan fasilitas restitusi dan kompensasi. Menurutnya, permohonan perlindungan hukum bagi saksi keluarga korban supaya mereka bisa terlindungi hukum ketika ada laporan balik terhadap mereka.
“Salah satu saksi ini menjadi pelapor dugaan tindakan pidana pembunuhan. Rentan kemudian pelapor dilaporkan balik bisa terjadi karena tidak cukup alat bukti dan kasusnya dihentikan, pihak yang kemudian dilaporkan dalam konteks terlapor bisa saja melaporkan balik orang yang melapor. Nah, makanya kami ajukan juga layanan perlindungan hukum kepada para saksi dalam hal ini keluarga korban mutilasi,” ujarnya.
Andrie menyatakan penting perlindungan bagi saksi supaya ketika menyampaikan kesaksian di depan majelis hakim tanpa adanya tekanan atau ancaman lain. Menurut Andrie, dari beberapa kasus lain, ada tekanan pihak tertentu terhadap saksi agar tidak menyampaikan keterangan yang sebenarnya.
“Karena beberapa pola yang kami temukan sebagai pembelajaran kasus. Saksi ditekan pihak tertentu, bisa dia [saksi] disuruh tidak mengatakan sesuatu atau kemudian disuruh tidak berkata jujur. Belajar dari situ menjadi penting saksi, yaitu keluarga korban yang hendak diperiksa di persidangan, mendapatkan perlindungan dari LPSK. Itu juga sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Itu menjadi ranah dan kewenangan LPSK,” katanya.
Andrie menyatakan ada permohonan dari keluarga korban agar salah satu terdakwa, Roy Marthen Howay, diajukan sebagai justice collaborator. Andrie menyatakan permohonan ini disampaikan karena Roy memberikan keterangan yang berbeda dengan terdakwa lainnya.
“Informasi yang kami peroleh ada perbedaan keterangan [dari Roy] dengan terdakwa-dakwa lain. Yang menurut hemat kami ini terdakwa Roy Marthen Howay meneruskan surat permohonan dari keluarga soal permohonan sebagai justice collaborator bagi Roy Marthen Howay ke LPSK RI,” katanya. (*)