Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Jayapura pada Jumat (31/3/2023) kembali menggelar sidang perkara makar yang didakwakan kepada Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Viktor Yeimo. Dalam sidang itu, saksi ahli pidana penasehat hukum Yiemo, Dr Amira Paripurna SH LLM PhD menyatakan demonstrasi anti rasisme maupun tuntutan referendum bukanlah tindakan makar.
Kasus dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terkait dengan demonstrasi anti rasisme Papua untuk memprotes ujaran rasial yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019. Yeimo didakwa makar karena dianggap memotori demonstrasi yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019.
Perkara itu terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).
Dalam sidang Jumat, Koalisi Penegak Hukum dan HAM untuk Papua selaku penasehat hukum Viktor Yeimo menghadirkan dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Dr Amira Paripurna SH LLM PhD sebagai saksi ahli hukum pidana. Selaku saksi ahli, Amira menjelaskan tentang pengertian tindakan pidana, makar, rasisme, hingga penghasutan.
Amira menyatakan ekspresi anti rasisme dan ekspresi politik tuntutan referendum tidak bisa dipidana dengan pasal makar. Menurut Amira ekspresi anti rasisme maupun ekspresi politik untuk menentukan nasib sendiri atau self determination merupakan bagian dari ekspresi yang dilindungi dalam sistem hukum nasional maupun internasional (political expression is protected expression).
Amira menyatakan frasa ‘makar’ memiliki pengertian ancaman terhadap keamanan negara, dan ancaman itu harus memenuhi unsur serangan yang telah nyata menimbul korban maupun rencana permulaan pelaksanaan untuk melakukan perbuatan jahat.
Amira menyatakan ekspresi dengan simbol dan bendera bintang kejora—baik sebagai ekspresi sosial budaya maupun pula ekspresi politik—dikaitkan dengan aksi menolak diskriminasi rasial dijamin sebagai hak konstitusional. “Demo dengan yel-yel [Papua Merdeka dan tuntutan referendum] yang merupakan murni penyampaian ekspresi [anti rasisme] itu dilindungi undang-undang. Hak dan Kewajiban warga negara untuk melawan diskriminasi rasisme, [dan] itu harus dilindungi negara,” kata Amira dalam persidangan.
Amira menyatakan dalam kalangan pakar/akademisi masih terjadi penafsiran delik makar yang berbeda-beda. Ada kelompok pakar yang menafsirkannya sebagai serangan, tindakan kekerasan dan ada kelompok yang menafsirkannya sebagai delik percobaan yang tidak lengkap. “Tafsiran delik makar [dikalangan akademisi] masih berbeda-beda,” ujarnya.
Akan tetapi, Amira menguraikan ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017 soal makar, yakni agar aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar. Amira menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan pasal atau delik makar tidak boleh menjadi alat bagi aparat penegak hukum untuk bertindak sewenang-wenang membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945. “Aparat penegak hukum harus berhati-hati menggunakan pasal makar,” katanya.
Amira menyatakan dalam praktik peradilan di Indonesia mencatat bahwa delik terhadap keamanan negara kerap dilatarbelakangi dengan tujuan politik, dan setiap pemerintahan memiliki pengertian tersendiri tentang tafsiran dan pengertian politik itu sendiri. Oleh karenanya, pasal-pasal makar mudah sekali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah yang berkuasa.
Pasal makar itu bukan saja digunakan pada masa rezim Orde Lama dan Orde Baru. Belakangan ini, pasal-pasal makar digunakan oleh pemerintah untuk menangkap sejumlah aktivis. “[Delik makar] dipakai untuk me-represif lawan-lawan politik yang dipakai rezim Orde Lama, [Orde] Baru hingga, pemerintahan sekarang,” ujarnya.
Amira juga menyatakan sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur perbuatan manusia baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat), diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Amira menyatakan pemidanaan harus tetap dalam koridor Hak Asasi Manusia.
Amira juga menyatakan demonstrasi bukanlah masuk kategori delik politik, dan demo tentang rasisme bukan bentuk penghasutan. Amira menyatakan perbuatan penghasutan yang dilarang dalam Pasal 160 KUHP adalah menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan supaya melakukan tindak pidana, melakukan suatu kekerasan kepada penguasa umum, tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, atau tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ia menyatakan dengan demikian maka perbuatan penghasutan yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP bersifat limitatif, yaitu harus memuat keempat materi perbuatan di atas. “Ekspresi masyarakat yang bukan merupakan ancaman, tetapi ekspresi yang murni mengadvokasi, mencegah, atau melawan tindakan diskriminasi rasisme itu dilindungi perundang-undangan,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!