Jayapura, Jubi – Amuk massa dan bentrokan yang berujung penembakan warga yang terjadi di Wamena pada 23 Februari 2023 memiliki pola serupa dengan peristiwa amuk massa di Wamena pada 23 September 2019. Kegagalan polisi mencegah timbulnya banyak korban jiwa menunjukkan pendekatan keamanan dalam penanganan peristiwa 23 September 2019 tidak pernah dievaluasi dan dijadikan pembelajaran.
Hal itu dinyatakan advokat publik Aliansi Demokrasi untuk Papua, Helmi saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Rabu (1/8/2023). Helmi mengatakan penembakan warga untuk menangani amuk massa di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, pada 23 Februari 2023 lalu menewaskan sedikitnya sembilan orang warga sipil.
Helmi menilai penanganan polisi atas rangkaian peristiwa pada 23 Februari 2023 menunjukkan pendekatan keamanan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Padahal, pendekatan keamanan seperti itu pernah gagal mencegah timbulnya banyak korban dalam peristiwa serupa pada 23 September 2019. Dalam peristiwa 23 September 2019, sedikitnya ada 42 korban meninggal, dan separuh wilayah perkotaan Wamena hancur karena amuk massa.
“Pola pendekatan keamanan selama ini justru menunjukan ada yang salah dari sisi pemahaman dalam hal penyelesaian masalah kekerasan di Papua. Sejauh ini pun kita tidak tahu hasil evaluasi terkait pendekatan keamanan di Papua,” kata Helmi.
Helmi juga mengkritik sikap pemerintah dalam merespon beberapa peristiwa kekerasan di Papua, karena justru melahirkan berbagai kebijakan yang kontraproduktif. Pemerintah pusat misalnya, memaksakan pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2oo1 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Pemerintah pusat juga memaksakan pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk tiga provinsi baru, yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
“Kita di Papua sebenarnya belum siap sepenuhnya akan adanya Daerah Otonom Baru, mengingat jumlah [penduduk] di Papua, terutama masyarakat Orang Asli Papua yang sedikit. [Apalagi] penguatan kapasitas sumber daya manusia masih jauh dari harapan,” katanya.
Helmi mengatakan Daerah Otonom Baru justru akan membuka peluang adanya migrasi penduduk dari luar Papua, yang juga berpotensi mendominasi aktivitas perekonomian di Papua maupun jalannya pemerintahan di ketiga provinsi baru. “Termasuk juga terkait dengan penguasaan wilayah di tempat-tempat yang memiliki potensi SDA yang melimpah,”katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!