Nabire, Jubi – Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Ones Suhuniap mengatakan Indonesia wajib memberikan ruang demokrasi kepada Bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum. Hal itu dinyatakan Suhuniap melalui keterangan pers tertulisnya pada Senin (1/5/2023).
Suhuniap menyatakan pengalihan administrasi pemerintahan wilayah Papua dari Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 disertai mandat mengadakan Hak Penentuan Nasib Sendiri sesuai ketentuan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1514 (XV) tentang Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Jajahan. Hal itu juga tertuang dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1952.
“Penyerahan administrasi kepada Indonesia untuk mempersiapkan Hak Penentuan Nasib sendiri bagi Bangsa Papua. Penyerahan wilayah Papua kepada Indonesia untuk melaksanakan pelaksanaan referendum secara demokratis, satu orang satu suara, berdasarkan Perjanjian New York,” tulis Suhuniap.
Ia menyatakan Pasal XVIII Perjanjian New York 1962 mengatur hak suara dari setiap orang dewasa di Tanah Papua, baik perempuan maupun laki-laki, untuk memilih dalam Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua yang seharusnya digelar paling lambat pada 1969. “Setelah Indonesia menerima mandat pada 1 Mei 1963, [Indonesia] tidak menjalankan tugasnya dengan baik, melanggar Resolusi [Majelis Umum PBB] 1514 dan madat Perjanjian New York,” katanya.
Suhuniap mengatakan Komite Khusus PBB tentang Dekolonisasi yang didirikan pada tahun 1962 memfokuskan perhatian kepada dekolonisasi wilayah belum memiliki pemerintahan sendiri. Akan tetapi, Indonesia tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan dekolonisasi di Tanah Papua.
“Indonesia telah melanggar prinsip hukum internasional dan tujuan mendirikan PBB. PBB didirikan untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antar bangsa melalui penghormatan hak asasi manusia, membina kerjasama internasional dalam pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan,” kata Suhuniap.
Menurutnya, penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 tidak sesuai aturan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1514 (XV) tentang Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Jajahan maupun Perjanjian New York 1962. Ia menilai Pepera 1969 justru dijadikan dasar bagi Indonesia untuk terus mengusai Tanah Papua.
“Kami tidak dibenarkan adanya usaha perluasan wilayah [Indonesia]. Setiap bangsa berhak untuk menentukan usahanya sendiri. Setiap bangsa punya hak untuk turut serta dalam perdagangan dunia. Perdamaian dunia harus diciptakan agar setiap bangsa hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan,” katanya.
Suhuniap menolak dalil yang menyatakan hasil Pepera 1969 telah diadopsi Resolusi Majelis Umum PBB 2504. Ia menekankan referendum yang diselenggarakan di Tanah Papua pada 1969 itu tidak demokratis, cacat hukum dan moral.
Menurut Suhuniap, Resolusi Majelis Umum PBB 2504 bukan merupakan resolusi politik atas hasil Pepera 1969. Suhuniap mengatakan KNPB juga menolak Perjanjian Roma 30 September 1962, karena dibuat tanpa keterlibatan Bangsa Papua. “Pelaksanaan referendum di Papua gagal. Dengan demikian, keberadaan Indonesia [di Tanah Papua] saat ini statusnya pemerintahan sementara [yang] hari ini genap 60 Tahun,” kata Suhuniap.
Karena Indonesia belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua, maka referendum ulang harus digelar. “Hak dekolonisasi dan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua masih berlaku sampai dengan hari, karena tugas [yang] diberikan PBB kepada Indonesia melalui [penyerahan administrasi wilayah pada] 1 Mei 1963 tidak dilaksanakan sesuai prinsip hukum internasional dan Pasal XVIII Perjanjian New York 1962 [yang mengatur] satu orang satu suara pada tahun 1969,” katanya.
Melalui momentum peringatan 60 tahun penyerahan administrasi pemerintahan wilayah Tanah Papua pada 1 Mei 2023, Suhuniap menyatakan Indonesia tetap memiliki kewajiban moral untuk memenuhi Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua. “Atas dasar itu kami tetap akan menuntut Indonesia untuk menggelar referendum bagi Papua,” katanya. (*)