Hari Lingkungan Hidup Sedunia, ini tuntutan Front Rakyat Selamatkan Manusia dan Tanah Papua

Papua
Front Rakyat Selamatkan Manusia dan Tanah Papua menggelar diskusi dan mimbar bebas “lawan kapitalisme aktor ekosida dan wujudkan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam di Papua”, Senin (5/6/2023) di Asrama mahasiswa Intan Jaya, Kota Jayapura.-Jubi/Islami

Jayapura, Jubi – Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023, Front Rakyat Selamatkan Manusia dan Tanah Papua menggelar diskusi dan mimbar bebas dengan mengambil tema “lawan kapitalisme aktor ekosida dan wujudkan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam di Papua”, pada Senin (5/6/2023), di Asrama mahasiswa Intan Jaya, Kota Jayapura.

Diskusi dan mimbar bebas ini didasari pada kejadian Indonesia telah memaksakan kebijakan Otonomi Khusus jilid II secara sepihak di Tanah Papua pada 2021. Kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan rasis tersebut, menunjukkan wajah negara di Papua, bukan hanya dalam konteks kebijakan politik tetapi juga dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup di Papua.

Koordinasi mimbar bebas, Yohanes Giyai menyebutkan rakyat Papua benar-benar disingkirkan, tidak ada celah untuk menentukan arah pembangunan sesuai kebutuhan rakyat yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian kearifan lokal, lingkungan hidup, dan kemandirian ekonomi kerakyatan.

Menurutnya, negara memaksakan pemekaran empat provinsi Daerah Otonomi Baru, dan akan berdampak pada masifnya perusakan lingkungan barbasis lahan seperti alih fungsi lahan hutan menjadi lahan terbangun, penumpukan sampah akibat pengelolaan limbah padat perkotaan yang buruk, pembuangan limbah dari aktivitas eksploitasi tambang dan perkebunan skala luas.

Baca juga :   Herbarium Manokwariense, bank data keanekaragaman hayati Papua yang tak terawat

“Juga berkaitan dengan polusi udara kotor yang semakin meningkat, karena aktivitas kendaraan berbahan bakar fosil dan mesin pendingan ruangan meningkat tajam di daerah perkotaan dengan iklim yang panas, dan deforestasi melalui perusahaan logging sebagai penyedia kayu untuk bahan bangunan,” kata Giyai.

Pola pembangunan Indonesia di Papua yang mengesampingkan nilai ekologi, menurutnya, akan menurukan daya dukung lingkungan dan mengancam berbagai jenis flora dan fauna, serta memperburuk perubahan iklim secara global.

Berdasarkan laporan, Koalisi Indonesia Memantau pada tahun 2021 dan menyebutkan sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektare atau 29 persen terjadi pada 2001-2010 dan 71 persen di 2011-2019.

“Bila dirata-ratakan, terjadi deforestasi 34.918 hektare per tahun, dengan deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektare hutan alam Tanah Papua,” ucapnya.

Dengan begitu, masyarakat adat di Papua adalah korban langsung atas hancurnya lingkungan hidup dan praktik perampasan tanah adat oleh negara. Perjuangan masyarakat adat untuk menyelamatkan lingkungan dan penguasaan atas kepemilikan tanah adat sudah dilakukan sejak dahulu, namun dipersulit melalui mekanisme legal formal, tidak terbukanya informasi korporasi dan keterlibatan institusi militer di wilayah investasi yang semakin meningkat.

Baca juga :   SMPN 2 Jayapura mengadakan Halalbihalal di panti asuhan

Selain itu, katanya, ada kebijakan politik yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat dan lingkungan hidup yang akan menghancurkan alam, merampas tanah adat dan pemiskinan (proletarianisasi) masyarakat adat akan semakin meningkat.

Front ini juga menolak rencana investasi Block Wabu di Intan Jaya dan rencana investasi Block Warim di Kawasan Taman Lorenz Papua. Selain itu, negara melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, diharapkan segera mencabut izin lingkungan hidup dan operasi atas tanah adat suku Auwu seluas 39.190 hektare oleh Perusahaan Sawit PT Indo Asiana Lestari.

“Kami pun menolak rencana pembangunan PLTA di Kali Yawei, Kabupaten Deiyai, dan rencana pengembangan bisnis parawisata di Kampung Dimiya, Tagee oleh Pemerintah Kabupaten Paniai, dan hentikan pembungan sampah plastik di laut, danau dan sungai di seluruh Tanah Papua, tutup PT Freeport, BP LNG Tangguh dan berbagai perusahaan multi nasional yang beroperasi di Tanah Papua, dan hentikan perampasan tanah adat di Welesi, Wamena untuk pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan,” katanya.

Baca juga :   Anggota Brimob tertembak saat kontak tembak dengan TPNPB di Kiwirok

Pihaknya pun meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura segera mencabut izin lokasi PT Permata Nusa Mandiri, mencabut izin usaha perkebunan PT PNM, dan BPN/ATR segera mencabut hak guna usaha PT PNM dari wilayah masyarakat adat Grime Nawa.

“Hentikan aktivitas deforestasi, aktivitas industri tambang dan perburuan satwa langka yang terus mengancam keanekaragaman flora dan fauna di Papua,” katanya. (*)

Komentar
banner 728x250