Jayapura, Jubi – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM se-Papua di Kota Jayapura pada Senin (16/1/2023) meminta Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Viktor Yeimo dibebaskan tanpa syarat. Menurut mahasiswa, Yeimo merupakan korban kriminalisasi dan korban diskriminasi rasial.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Papua terdiri atas BEM Universitas Cenderawasih, BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Universitas Muhamadiyah Papua, BEM Ottow dan Geissler, BEM Universitas Satya Witaya Manda atau USWIM Nabire, BEM Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika atau STIMIK Nabire , BEM Nusantara Perwakilan Papua dan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Perwakilan Papua.
Menteri Hukum dan HAM BEM Universitas Cenderawasih, Cristian Kobak menyatakan perlakuan hukum terhadap masyarakat Papua tidak adil dan sudah tidak memihak terhadap orang Papua. Ia menyatakan proses hukum yang dijalani Viktor Yeimo seharusnya berlangsung cepat, tetapi hingga saat ini belum selesai.
“Jadi perlakuan hukum terhadap orang itu sudah tidak adil. Negara Indonesia masih menunjukkan politik rasial terhadap rakyat Papua, itu masih kental sekali,” ujarnya.
Saat ini Yeimo sedang menjalani persidangan dugaan makar di PN Jayapura. Perkara dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terdaftar itu dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).
Pada 21 Februari 2021, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Viktor Yeimo telah melakukan makar karena terlibat dalam aksi unjuk rasa anti rasisme Papua yang berujung menjadi amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 . Jaksa Penuntut Umum mengenakan empat pasal berbeda, yaitu Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (bersama-sama melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara), Pasal 110 ayat (1) KUHP (tentang permufakatan jahat melakukan makar), Pasal 110 ayat (2) ke 1 KUHP (berusaha menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan makar), Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (tentang dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang).
Kobak menyatakan penangkapan terhadap Viktor Yeimo tidak sesuai hukum, karena Yeimo menyuarakan ketidakadilan serta diskriminasi rasial yang dialami masyarakat Papua. Menurut Kobak, kasus penangkapan terhadap aktivis Papua, secara khusus terhadap Yeimo, yang terus dilakukan aparat keamanan terhadap orang Papua sebagai upaya mempertahankan Papua dalam wilayah NKRI.
“Perlakuan hukum terhadap Viktor Yeimo sudah tidak sesuai. Itu sesuatu yang dilakukan negara dalam rangka mempertahankan Papua dalam wilayah NKRI,” kata Kobak dalam konferensi pers Senin.
Kobak menyampaikan penangkapan terhadap Yeimo dan orang Papua merupakan suatu bentuk keadilan yang dilakukan Negera terhadap orang Papua. Ia menyatakan Negara terlalu memaksakan keinginan untuk mengatur orang Papua melalui kebijakan yang dijalankan di Tanah Papua.
“Padangan orang Jakarta [pemerintah pusat] terhadap orang Papua, [orang Papua dianggap] tidak bisa bikin apa-apa. Sehingga, apa yang baik [menurut] Jakarta [pemerintah pusat] baik juga untuk Papua. Maka praktik [kebijakan Jakarta] terus diterapkan [di Papua], padahal belum tentu itu baik [bagi Papua],” ujarnya.
Perwakilan BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Holland Silak menyatakan bahwa penangkapan terhadap Yeimo menunjukkan Negara masih menerapkan politik rasial terhadap orang Papua. Menurut Silak, Yeimo merupakan korban diskriminasi rasial yang tidak bersalah, sehingga harus dibebaskan tanpa syarat.
“Viktor Yeimo adalah korban dari rasis itu sendiri. Dia bukan pelaku,” kata Silak. (*)
