Makassar, Jubi – Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar pada Senin (3/10/2022) melanjutkan sidang perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Paniai Berdarah. Pada sidang Senin, tiga polisi dihadirkan sebagai saksi perkara penembakan yang menewaskan empat orang siswa di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, pada 8 Desember 2014 itu. Kesaksian mantan Kepala Kepolisian Sektor Paniai Timur, Petrus Gawe Boro tentang kronologi tragedi Paniai Berdarah sempat memicu perdebatan di antara jaksa dan penasehat hukum.
Dalam perkara Paniai Berdarah itu, Mayor (Purn) Isak Sattu menjadi terdakwa tunggal yang diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi. Isak Sattu didakwa dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman terberat pidana mati, dan hukuman teringan pidana 10 tahun penjara.
Petrus Gawe Boro menjadi saksi pertama yang keterangannya didengar pada persidangan Senin. Petrus Gawe menggunakan pakaian biru saat menyampaikan kesaksiannya menjelaskan bahwa sejak 9 Oktober 2013 hingga April 2017 ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Paniai Timur dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Pasca itu, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Resor (Polres) Paniai hingga pensiun dengan pangkat Kompol.
Petrus bersaksi sebelum tragedi Paniai Berdarah terjadi, pada 8 Desember 2014 pagi ia bersama empat anak buahnya menuju Markas Polres Paniai untuk mengikuti apel pagi di sana. Dalam apel itu, Wakapolres Paniai Kompol Hanafiah menyampaikan jika ada pemalangan jalan di Gunung Merah, di ruas jalan yang menghubungkan Enarotali dan Madi. Apel pagi itu pun dipercepat.
Seusai apel, Petrus bersama Kabag Ops Polres Paniai, Kompol Sukapdi dan sejumlah polisi lainnya mendatangi lokasi pemalangan. Di sana, ada ratusan warga yang sudah berkumpul dengan membawa tombak, kapak, dan parang. Massa itu menutup akses jalan dengan menaruh tiang listrik berbahan beton dan batang pohon juga batu di badan jalan.
Menurut Petrus, massa itu marah dengan peristiwa pemukulan yang dilakukan sejumlah prajurit TNI terhadap Benyamin Kudiai, Yosafat Yeimo, Noak Gobai dan Oktofince Yeimo di Pondok Natal Gunung Merah, Jalan Enarotali – Madi Kilometer 4, pada 7 Desember 2014 petang, sekitar pukul 17.30 WP.
Petrus menuturkan pihaknya berupaya membujuk warga membuka jalan itu, namun warga yang marah menolak. Mereka menyatakan para prajurit TNI harus bertanggungjawab atas pemukulan yang terjadi pada 7 Desember 2014 itu.
Petrus menyatakan salah satu warga yang membawa kapak menyerang mobil yang ia bawa. “Mobil kami berhenti. Satu orang warga datang bawa kapak. Kena jalan, saya tidak kena,” katanya.
Warga itu kemudian menghantam kaca mobil depan di bagian kanan, dan menghantamnya bagian kanan mobil itu hingga peok. “Jadi kami mundur, dan saya melaporkan situasinya ke Wakapolres,” lanjut Petrus.
Beberapa menit kemudian, Wakapolres Paniai Kompol Hanafiah tiba di lokasi pemalangan bersama Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw. Petrus dan anak buahnya diperintah untuk menjauh dari lokasi pemalangan, da mereka mundur hingga sekitar 30 meter dari lokasi itu. Petrus kemudian melihat Hanafiah bernegosiasi dengan massa. Negosiasi itu berlangsung alot, dan situasi menjadi semakin panas karena negosiasi itu gagal mencapai kata sepakat.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan yang tidak diketahui sumbernya. Polisi kemudian mundur, menjauhi massa. Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw akhirnya berhasil membujuk warga membuka palang jalan.
Pada saat yang hampir bersamaan, sekitar delapan prajurit TNI Rider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire tiba di lokasi pemalangan menggunakan mobil. Melihat itu, massa justru kembali marah dan menyerang mobil yang ditumpangi para prajurit TNI tersebut. Akhirnya prajurit TNI mundur, bersama-sama polisi menjauhi massa.
“Waktu kami mundur, masyarakat memaki kami. Tapi, ada anggota TNI yang mungkin sudah panas juga membalas, dengan makian. ‘Anjing, babi kau, mau saya bikin seperti tadi malam kah’,” kata Petrus menirukan ucapan salah seorang anggota TNI saat itu.
Selanjutnya, seorang anggota TNI lainnya berujar, “Bapak-bapak mundur ini masalah kami,” kata Petrus.
Sukapdi, yang pada saat tragedi Paniai Berdarah terjadi merupakan Kabag Ops Polres Paniai menjadi saksi kedua pada sidang Senin. Sukapdi memberikan kesaksian yang serupa dengan kesaksian Petrus.
Ia juga menjelaskan kasus penganiayaan yang dilakukan sejumlah prajurit TNI terhadap sejumlah pemuda yang membuat Pondok Natal di Gunung Merah pada 7 Desember 2014. “Dari informasi yang kami terima, penganiayaan tanggal 7 itu dilakukan oleh TNI. Ada sekitar 8 anggota TNI. Mereka menggunakan pakaian setengah dinas, pakai celana loreng, dan baju kaos. Mereka juga bawa senjata, karena ada warga yang dianiaya pakai popor senjata,” kata Sukapdi.
Polsek Paniai Diserang
Saat negosiasi antara Wakapolres Paniai Kompol Hanafiah dan massa masih berlangsung alot, saluran radio komunikasi polisi melaporkan bahwa Markas Polsek Paniai Timur diserang massa yang lain. Kompol Hanafiah kemudian memerintahkan Petrus bergerak ke Markas Polsek Paniai Timur, sementara Sukapdi diperintahkan segera kembali ke Markas Polres Paniai.
Saat Petrus tiba di Markas Polsek Paniai Timur, massa sudah terpecah di Lapangan Karel Gobay dan di lapangan voli. Petrus memasuki Markas Polsek Paniai Timur, dan melihat batu berserakan di mana-mana, dan kaca depan gedung sudah pecah.
Menurut Petrus, saat itu senjata yang berada dalam ruang penyimpanan sudah tak berada di tempatnya, karena diamankan anak buah Petrus. Petrus menyatakan hal itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan massa memasuki Markas Polsek Paniai Timur.
Menurut Petrus, Polsek Paniai Timur memiliki sembilan pucuk senjata, dengan 140 butir peluru. Ia mengakui jumlah peluru berkurang ketika dihitung pasca peristiwa Paniai Berdarah, namun ia tidak merinci detil jumlah peluru yang berkurang.
“Apakah ada laporan atau kronologi tertulis yang dibuat setelah peristiwa,” kata salah seorang majelis hakim.
“Setelah kejadian, saya hanya menyampaikan laporan secara lisan saja. Tidak ada tertulis,” kata Petrus.
Petrus kemudian mengumpulkan 22 anggota Polsek Paniai Timur, dan meminta mereka bertahan di halaman Markas Polsek. Ketika Petrus memeriksa situasi di luar Markas Polsek, ia melihat Komandan Dalmas Polres Paniai, Riddo Bagaray sudah berada di depan Kantor Distrik Paniai Timur.
“Itu kenapa saya marah, saya tidak lihat mereka keluar. [Saya] minta mereka masuk kembali,” katanya.
Berdebat sengit
Kesaksian Petrus Gawe Boro tentang kronologi tragedi Paniai Berdarah itu sempat menimbulkan perdebatan antara tim Jaksa Penuntut Umum dan tim penasehat hukum terdakwa Isak Sattu. Gara-garanya Petrus bersaksi tentang suara tembakan yang terdengar saat polisi sedang bernegosiasi dengan massa yang memalang Jalan Enarotali – Madi Kilometer 4 pada 8 Desember 2014 pagi.
Dalam kesaksiannya, Petrus menyatakan ia mendengar Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw menyebut tembakan yang tiba-tiba terdengar di tengah proses negosiasi yang alot itu adalah “campur tangan pihak ketiga”. “Wakil Bupati bilang, ada campur tangan pihak ketiga,” kata Petrus soal tembakan yang terdengar sebelum tragedi Paniai Berdarah itu.
“Pihak ketiga itu siapa?,” kata seorang Jaksa.
“Siap, KKB,” jawab Petrus. KKB adalah istilah yang digunakan aparat keamanan untuk menyebut kelompok bersenjata di Papua.
Saat tim penasehat hukum terdakwa Isak Sattu diberi kesempatan untuk bertanya kepada Petrus, Yunius Pamatan selaku penasehat hukum Isak Sattu pun menggali cerita rinci soal penembakan yang disebut Petrus itu. Petrus mengatakan suara tembakan itu terdengar dua kali, dan suaranya terdengar dengan jelas.
Yunius kemudian meminta kejelasan tentang pernyataan Petrus yang menyebut bahwa dua tembakan yang terdengar pada 8 Desember 2014 pagi adalah tembakan yang dilepas KKB. Akan tetapi, pertanyaan Yunius itu diinterupsi jaksa. Jaksa mengingatkan bahwa dugaan bahwa tembakan itu dilepaskan oleh KKB adalah pendapat atau kesimpulan yang dibuat sendiri oleh Petrus.
Di pihak lain, Yunius menolak interupsi jaksa itu. “Itu bukan kesimpulan. Saya kira itu fakta lapangan,” kata Yunius.
Petrus lalu mengulangi kesaksiannya, bahwa kesimpulan tentang dari mana tembakan itu berasal ia dengar dari pecakapan antara Wakapolres Paniai, Kompol Hanafiah dan Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw. “Saya tahu KKB itu dari perkataan Wakapolres dan Wakil Bupati,” kata Petrus.
Ketika tim penasehat hukum terdakwa menanyakan keberadaan KKB dalam tragedi Paniai Berdarah, jaksa kembali menginterupsi pertanyaan tim panasehat hukum. Bahkan, jaksa tiga kali menginterupsi pertanyaan tim penasehat hukum Isak Sattu, hingga suasana sidang menjadi panas.
Tim panasehat hukum terdakwa pun memprotes interupsi jaksa. “Seharusnya saudara Jaksa menghargai kami sebagai penasehat hukum terdakwa. Kami tidak pernah memotong Anda. Jadi berikan kami kesempatan,” kata Syarir Cakkari.
Hakim Ketua Sutisna Sawati akhirnya mengambil alih perdebatan itu. Hakim Sutisna akhirnya bertanya kepada Petrus, apakah Petrus mengetahui fakta bahwa korban dari tembakan KKB pada 8 Desember 2014, atau setidaknya fakta keberadaan KKB dalam rangkaian peristiwa 8 Desember 2014 itu.
Petrus pun mengakui ia tidak mengetahui fakta bahwa ada korban kelompok bersenjata pada 8 Desember 2014, dan tidak mengetahui keberadaan kelompok bersenjata di Enarotali pada 8 Desember 2014. “Sampai sekarang belum ada,” kata Petrus. (*)