Jayapura Jubi – Koordinator lapangan demonstrasi Mahasiswa Peduli Hak Asasi Manusia bagi Rakyat Papua atau MPHAM Papua di Sorong, Demianus Asem mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oknum aparat keamanan di Tanah Papua. Ia meminta pemerintah menarik aparat keamanan dari Papua, demi mencegah terulangnya kasus kekerasan terhadap warga sipil di Tanah Papua.
Hal itu dinyatakan Demianus Asem saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa (27/9/2022). Asem menyatakan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan terus terjadi di Tanah Papua, mulai dari kasus Biak Berdarah, Wasior Berdarah, Paniai Berdarah. Selain itu, kasus kekerasan baru yang dilakukan aparat keamanan di Tanah Papua juga terus bermunculan, termasuk kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022, ataupun kasus penganiayaan yang menewaskan warga Kabupaten Mappi pada 30 Agustus 2022.
“Kami menilai bahwa pembunuhan dan mutilasi terhadap warga sipil di Mimika oleh oknum TNI dan warga sipil, kemudian [penganiayaan warga sipil] di Kabupaten Mappi, dan [kasus pelanggaran HAM berat di] Paniai adalah fakta yang telah memberikan gambaran jelas posisi rakyat Papua di dalam NKRI. Intimidasi, kekerasan, hingga penghilangan nyawa terus terjadi terhadap warga sipil, dilakukan oleh Negara melalui TNI,” kata Asem pada Selasa.
Asem mengatakan Negara terus membiarkan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Ia mencontohkan kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah, di mana banyak pelaku tidak dijadikan tersangka dalam kasus itu. Akibatnya, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam kasus itu terkesan seperti dilegalkan oleh Negara.
“Pola pendekatan aparat kemanan Indonesia seperti itu telah terjadi sejak perebutan Papua, hingga sampai pada masuknya Papua ke dalam NKRI. Hal itu terbukti dengan banyaknya tragedi di Papua yang tak pernah ada upaya penyelesaian. Biak Berdarah, Paniai Berdarah, Uncen Berdarah, dan beberapa kasus lainnya, hal itu diabaikan oleh Negara,” katanya.
Menurut Asem, Negara melalui aparat keamanan juga sering menyampaikan ujaran rasisme kepada rakyat Papua. “Hal itu memberikan pengakuan terhadap fakta [bahwa] pendekatan TNI [dalam] penyelesaian konflik di Papua hanya memberikan dampak buruk bagi warga sipil,” katanya.
Asem mengatakan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil terus terjadi, dan menimbulkan rasa takut rakyat. “Hal itu telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terus terjadi di atas tanah ini. Atas nama MPHAM Papua di Sorong, kami mengutuk tindakan anarkis, tindakan tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan tindakan mengabaikan HAM rakyat Papua,” ujar Asem.
Salah satu mahasiswa peserta demonstrasi MPHAM Papua di Sorong, Niko Y meminta para pelaku pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika dihukum mati.”Kami mendesak Negara berikan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Nduga di Mimika,” katanya.
Niko juga mengkritik proses hukum dalam kasus Paniai Berdarah 2014, di mana Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang tersangka dalam kasus pelanggaran HAM berat itu, dan melimpahkannya ke Pengadilan HAM Makassar. “Kami meminta pemerintah mengusut tuntas kasus pelangaran Ham berat Paniai Berdarah yang membuat empat siswa menjadi korban. Pemerintah harus menangkap semua pelaku yang sedang bertugas kala itu, [baik] di Kabupaten Paniai [maupun di] Provinsi Papua,” katanya.
Niko meminta pemerintah membuka akses bagi jurnalis asing untuk masuk ke Papua dan membuka semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua. “Negara Indonesia [harus] mengizinkan jurnalis asing masuk di Papua untuk melihat berbagai peristiwa pelanggaran HAM, juga situasi Papua saat ini,” katanya. (*)