Jayapura, Jubi – Pada 1 April 2022, Prof Dr Richard Harry Chauvel telah mengembuskan napas terakhirnya di Richmond, Melbourne, Australia. Pakar Indonesia kelahiran 76 tahun itu meninggalkan seorang istri, Janet Alice, dan dua anaknya masing-masing Hugla dan Emily.
“Prof Dr Richard Chauvell meninggal 1 April 2022 di Richmond Melbourne Australia tadi pagi,” tulis mantan jurnalis Harian Pagi Kompas Manuel Kaisiepo saat dihubungi Jubi.id, Jumat (1/4/2022) malam.
Ia menambahkan, Prof Dr Richard Harry Chauvel penah menulis tentang Republik Maluku Selatan (RMS) “Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1990.
“Beberapa tahun terakhir ini Pak Richard lebih banyak meneliti dan mempublikasi tulisan tentang Papua,” kata Kaisiepo.
Mendiang Prof Dr Richard Chauvel dosen dari Universitas Melbourne Australia itu, ikut pula dalam diskusi Otonomi Khusus dan Masa Depan Peace Building di Tanah Papua. Diskusi yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua dan Jubi.co.id [sekarang Jubi.id] yang dimoderatori oleh Victor Mambor, 3 Agustus 2021.
“Kalau meninjau kembali kebijakan Otsus dilanjutkan, saya pikir [itu] bukan jalan terbaik. Saya pikir hanya dengan dialog, maka membuka jalan keluar bagi Papua dan ini kesempatan Jaringan Damai Papua memainkan perannya,” kata Richard Chauvel kala itu.
Dia menegaskan, munculnya petisi rakyat Papua menolak Otsus Jilid Dua, menandakan adanya penolakan dengan menggerakkan identitas politik Papua berkampanye referendum dan menolak Otsus.
Dalam jurnal politik berjudul Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation, Chauvel menulis bahwa nasionalisme Papua hari ini lebih kuat daripada era 1961, ketika bendera Bintang Kejora pertama kali dikibarkan.
“Evolusinya sebagai kekuatan politik merupakan faktor penting dalam setiap analisis hubungan antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua,” tulisnya.
Dia menambahkan studi ini menunjukkan bahwa nasionalisme Papua saat ini telah dibentuk oleh empat faktor utama. Pertama, banyak orang Papua memiliki keluhan sejarah tentang cara tanah air mereka diintegrasikan ke Indonesia.
Kedua, elite Papua merasakan persaingan dengan pejabat Indonesia yang mendominasi pemerintahan negara mereka, baik di awal periode Belanda dan sejak pengambilalihan Indonesia tahun 1963. Peserta Papua dalam persaingan politik dan birokrasi inilah yang juga menjadi perumus utama, dan penggiat nasionalisme Papua.
Ketiga, perkembangan ekonomi dan administrasi wilayah tersebut, bersama dengan rasa perbedaan yang berkelanjutan dari orang Papua dari orang Indonesia, telah memupuk rasa identitas Papua, yang akar populernya saat ini jauh lebih luas daripada selama perkembangan pertama nasionalisme di awal 1960-an.
Keempat, transformasi demografis masyarakat di Papua, dengan masuknya pendatang Indonesia yang besar, telah menimbulkan perasaan luas bahwa orang Papua telah dirampas dan dipinggirkan. Ekspresi keyakinan yang paling ekstrem, meski tidak jarang, adalah pernyataan bahwa orang Papua menghadapi kepunahan di tanah mereka sendiri. Selamat jalan Prof Dr Richard Harry Chauvel. (*)
Discussion about this post