Jayapura, Jubi – Mahkamah Konstitusi pada Selasa (17/5/2022) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan Majelis Rakyat Papua atau MRP. Sidang pada Selasa mendengarkan keterangan Prof Dr Mohamad Laica Marzuki selaku saksi ahli yang diajukan Presiden RI yang menyatakan undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru itu tidak mengurangi wewenang MRP.
Dalam kesaksiannya, Prof Dr Mohamad Laica Marzuki menyampaikan pandangannya terkait pengaturan Pasal 6 dan pasal 6 a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Kedua pasal itu menyatakan anggota DPR Papua dan DPR kabupaten/kota terdiri dari anggota yang terpilih melalui Pemilihan Umum dan anggota yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua.
Laica Marzuki menegaskan anggota dewan yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua yang jumlahnya satu per empat dari jumlah anggota DPR Papua atau DPR kabupaten/kota. Menurutnya, pengaturan itu bertujuan agar unsur Orang Asli Papua dalam dewan tetap terakomodasi.
“Adapun frasa dipilih sesuai dengan ketentuan perundangan merupakan penegasan bahwa Pemilihan Umum diatur secara nasional menurut Pasal 22 e ayat 2 UUD 1945. Namun secara mutatis mutandis atau kurang lebih mendudukan orang asli Papua sebagai representasi daerah Otonomi Khusus Papua,” kata Laica.
Terkait permohonan uji materiil terhadap Pasal 28 UU Otsus Papua Baru yang menghapus hak penduduk Papua untuk mendirikan partai politik lokal, Laica menyatakan perubahan itu didasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVII/2019. Laica menyatakan pengaturan itu sudah tepat, karena 24c ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi memang berwenang mengubah Undang-undang (UU).
Laica menjelaskan perubahan itu diikuti dengan pengaturan Pasal 28 ayat 4 UU Otsus Papua Baru, yang menyebut partai politik dapat meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal rekrutmen dan seleksi politik. Menurutnya, pasal itu sudah mengakomodasi kepentingan masyarakat dan Otonomi Khusus Papua.
Terkait Pasal 76 ayat (2) UU Otsus Papua Baru yang memberi wewenang bagi pemerintah dan DPR RI untuk secara sepihak melakukan pemekaran wilayah di Papua, Laica mendalilkan bahwa perubahan UU Otsus Papua Baru tetap menyertakan Pasal 76 ayat (1) yang menyatakan pemekaran provinsi dan kabupaten dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua. Laica menyatakan frasa “dapat” bermakna agar MRP dan DPR Papua tidak menjadi satu-satunya pihak dalam persetujuan pemekaran Provinsi Papua. Laica juga mendalilkan bahwa Pasal 76 ayat (2) UU Otsus Papua Baru memperluas wewenang MRP dan DPR Papua, karena mereka dapat dimintai persetujuan dalam hal pemekaran kabupaten/kota di Papua.
MRP sendiri berpandangan bahwa pengaturan Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Otsus Papua baru telah mengurangi wewenang MRP untuk menolak pemekaran provinsi di Papua. Pandangan MRP itu didasarkan kepada ketentuan Pasal 76 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) yang tegas menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.
Dalam perkara itu, MRP mengajukan uji materiil terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf (b), ayat (2,3,4,5 dan 6), Pasal 28 ayat (1,2,dan 4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 68 a ayat (1) dan Pasal 76 ayat (1,2 dan 3) UU Otsus Papua Baru. Kuasa Hukum MRP, Rita Serena Kolibonso SH LLM mengatakan persidangan di Mahkamah Konstitusi memasuki tahapan mendengarkan keterangan ahli atau saksi dari pihak Presiden.
Kolibonso mengatakan MRP sudah mengajukan 13 ahli dan saksi. Ia menyatakan pihaknya berharap Mahkamah Konstitusi berkenan mendengarkan keterangan ahli, dan juga memperhatikan keterangan tertulis Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI). “Ada surat keterangan tertulis yang disampaikan Komnas HAM RI kepada Ketua Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Kolibonso menyampaikan sidang perkara permohonan uji materiil UU Otsus Papua Baru yang terdaftar dengan nomor perkara 47/PUU-XIX/2021 akan dilanjutkan pada 25 Mei 2022, dengan agenda penyampaian kesimpulan dari Kuasa Hukum Presiden dan Kuasa Hukum MRP. (*)