Jayapura, Jubi – PT Wijaya Sentosa menyatakan siap bertanggung jawab atas penyerobotan hutan sakral masyarakat adat Kuri. Pihak perusahaan mengakui mereka melakukan kesalahan ketika membuka jalan untuk penebangan kayu.
Kepala Humas PT Wijaya Sentosa, Marto mengakui pihak perusahaan kesalahan karena telah menyerobot hutan sakral masyarakat adat di kawasan hutan Dusner, Distrik Kuri Wamesa, Kabupaten Teluk Bintuni (bukan Kabupaten Teluk Wondama sebagaimana diberitakan sebelumnya), Provinsi Papua Barat. Ia menyatakan pihaknya tidak mengambil kayu di dalam hutan sakral, namun hanya membuka jalan guna melakukan penebangan di area konsesi milik perusahaan.
“Fakta di lapangan memang ada kesalahan, sesuai dengan apa yang masyarakat sampaikan. Kami memang harus mengakui demikian, bahwa operator tidak melihat batas yang dipasang, dan kami sudah tegur operatornya,” kata Marto kepada Jubi melalui panggilan telepon, Selasa (17/5/2022).
PT Wijaya Sentosa mengantongi Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA, dulu disebut Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.33/Menhut-II/2013 tertanggal 15 Januari 2013. Luas konsesi PT Wijaya Sentosa itu mencapai 130.755 hektare, dan merupakan bekas konsesi HPH PT Wapoga Mutiara Timber Unit-I Teluk Wondama.
Marto mengatakan pihaknya telah melakukan pengecekan di lapangan dan telah bertemu masyarakat adat guna mencari solusi penyelesaiannya. “Kalau dikatakan berhektar-hektar tidak betul juga. Memang ada pembukaan akses ke dalam hutan sakral. Kami sudah turun cek di lapangan. Mau tidak mau, karena kami sudah melakukan kesalahan, kami bertanggung jawab sesuai sanksi adat,” katanya.
Masyarakat adat Kuri, Sander Werbete mengatakan hutan yang disakralkan masyarakat adat Kuri itu luasnya mencapai 10 hektare. Wertebe menyampaikan luasan hutan sakral yang diserobot PT Wijaya Sentosa mencapai 2 hektare. “Sudah sekitar satu minggu lebih mereka [perusahaan] lakukan kegiatan, baru ditemukan LSM, kemudian melapor ke masyarakat adat,” ujarnya.
Werbete menyampaikan masyarakat adat sudah memasang tanda di sekitar hutan sakral tersebut, akan tetapi hutan sakral itu malah diserobot perusahaan. Atas dasar itu, masyarakat adat telah melakukan pemalangan dan menahan alat-alat berat perusahaan.
“Kami sudah garis tanah larangan untuk mereka, [perusahan] tidak boleh masuk ke area itu, karena itu hutan sakral. Kenapa mereka bisa masuk sampai ke situ. Itu kan perusahaan sudah membuat kesalahan,” katanya.
Werbete menyatakan perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan terjadi di dalam hutan sakral. Perusahan akan diizinkan beroperasi kembali setelah menyelesaikan persoalan ini melalui ganti rugi sanksi adat. (*)
Discussion about this post