Jayapura, Jubi – Penanggung Jawab Umum sekaligus Juru Bicara Petisi Rakyat Papua atau PRP, Jefri Wenda mengatakan pihaknya tetap akan memobilisasi massa untuk berdemonstrasi menolak Otonomi Khusus Papua dan rencana pemekaran Papua pada Selasa (10/5/2022) besok. Demonstasi itu akan digelar serentak di berbagai kota di Papua dan luar Papua.
Hal itu dinyatakan Jefri Wenda saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Senin (9/5/2022). Menurutnya, selain menolak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) dan rencana pemekaran Papua, demonstrasi yang digalang Petisi Rakyat Papua itu juga akan menuntut referendum sebagai solusi damai penyelesaian masalah Papua.
“Sesuai dengan imbauan PRP pada tanggal 5 Mei 2022, daerah di luar Papua yang akan melaksanakan aksi serentak penolakan Daerah Otonom Baru dan Otonomi Khusus [dan pemekaran Papua] di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Makassar. [Mahasiswa Papua di] Maluku akan menggelar diskusi,” kata Wenda.
Wenda mengatakan jaringan PRP di berbagai daerah di Papua juga telah mengonfirmasi rencana demonstrasi menolak Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Papua pada Selasa. Menurutnya, demonstrasi itu akan berlangsung serempak di enam wilayah adat yang ada di Tanah Papua, yaitu Mamta, Lapago, Meepago, Saireri, Domberai dan Bomberai.
“Di Wilayah Adat Mamta, pusatnya [di] Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Di Wilayah Adat Domberai, di Manokwari dan Sorong. Di Wilayah Adat Bomberai, di Kaimana. Di Wilayah Adat Lapago, dipusatkan di Wamena dan Yahukimo. Sementara untuk Wilayah Adat Meepago, di Kabupaten Dogiyai, Deiyai, dan Paniai,” kata Wenda.
Menurutnya, unjuk rasa di Wilayah Adat Saireri akan berpusat di Biak. “Kami akan menurunkan ribuan orang di masing-masing daerah. Imbauan telah diedarkan melalui selebaran, media massa, media sosial, dan secara lisan juga telah disampaikan kepada masyarakat Papua. Sesuai imbauan, aksi itu akan dilakukan serentak di daerah yang sudah disebutkan di atas,” katanya.
Wenda menyatakan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum telah menjamin hak setiap warga untuk menyatakan pendapatnya di muka umum, termasuk untuk menolak Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Papua. Ia menyatakan aparat keamanan wajib mengikuti ketentuan hukum itu.
“Setiap warga berhak menyampaikan pendapat. Jadi siapapun tidak boleh melarang masyarakat untuk turun ke jalan melakukan aksi,” katanya.
Wenda menyatakan hak untuk menyatakan pendapat juga dijamin dalam sejumlah instrumen hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi Indonesia, termasuk melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. “Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sepatutnya menjalankan Hak Sipil Politik warga negaranya,” ujar Wenda.
Koordinator Lapangan Aksi Tolak Otsus dan DOB di Paniai, Jemison Gobay menegaskan pihaknya akan menegaskan penolakan terhadap Otonomi Khusus Papua dan rencana pemekaran Papua, dan menuntut referendum sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua. “Otonomi Khusus Papua, baik melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maupun Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sudah dijalankan, baik disi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi, dan gagal,” kata Gobay.
Ia menegaskan proses pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menunjukkan Jakarta memaksakan kehendak untuk melanjutkan Otonomi Khusus Papua. “Kami petisi rakyat Papua wilayah Paniai mengajak seluruh masyarakat bersolidaritas untuk terlibat dalam aksi dimaksud,” katanya. (*)
Discussion about this post