Jayapura, Jubi – Pemerintah disarankan mengkaji kembali rencana pemekaran Provinsi Papua, yang kini menimbulkan pro-kontra di kalangan warga Papua.
Saran itu disampaikan anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau DPRP, Laurenzus Kadepa saat menghubungi Jubi melalui panggilan telepon, Senin (9/5/2022).
Katanya, apabila rencana pemekaran Papua terus digulirkan tanpa memperhatikan situasi di masyarakat Papua, dikhawatirkan timbul masalah baru.
Misalnya benturan antara kelompok warga (konflik antarkelompok warga) dan masalah lainnya. “Kelompok yang menolak rencana pemekaran ini kan, mayoritas berada di kabupaten di daerah pegunungan. Di wilayah adat Lapago dan Meepago. Sedangkan kelompok yang mendukung mayoritas berada di kabupaten pesisir, atau wilayah adat Mamta, Animha dan Saireri,” kata Kadepa.
Katanya, kelompok warga yang menolak maupun menerima rencana pemekaran Papua, memiliki alasan tersendiri.
Mereka yang menolak rencana pemekaran, bukan karena ingin meminta referendum atau alasan politis lainnya.
Akan tetapi mereka khawatir pemekaran akan membuat orang asli Papua terpinggirkan. Sebab sumber daya manusia orang asli Papua, belum merata di semua kabupaten.
Sedangkan kelompok yang mendukung beralasan, pemekaran akan meningkatkan kesejahteraan warga.
Mempercepat kemajuan pembangunan dan memperpendek layanan pemerintahan. Sebab wilayah Papua begitu luas, dengan kondisi geografis yang sulit.
Ia mengatakan, alasan kedua kelompok ini berdasar. Tujuannya semua untuk kebaikan orang asli Papua.”Sebagai anggota DPR Papua, saya tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak rencana pemekaran. Saya menerima semua aspirasi warga, baik yang mendukung maupun menolak untuk disampaikan ke pihak terkait. Saya hanya ingin, semua ini benar benar diletakkan atas dasar kepentingan dan masa depan orang asli Papua,” ujarnya.
Menurutnya, untuk itu pemerintah perlu membentuk tim independen mengkaji kembali rencana pemekaran Papua. Agar rencana itu benar -benar berdasarkan kajian ilmiah.
“Pak Presiden, Pak Menkopolhukam harus melihat situasi ini. Pemerintah harus membentuk tim indendepen, melakukan kajian kembali. Misalnya melibatkan Komnas HAM atau LIPI. Itu perlu supaya semua jelas. Berdasarkan kajian ilmiah,” ucapnya.
Politikus Partai Nasional Demokrat itu mengatakan Mekopolhukam, Mahfud MD belum lama ini mengatakan 80 persen rakyat Papua mendukung pemekaran. Akan tetapi klaim itu patut dipertanyakan.
“Walaupun [Mankopolhukam] Mahfud MD bilang ada 80 persen rakyat Papua menerima [pemekaran]. Tapi itu [hasil] survei atau kajian dari mana? Itu kan menurut Mahfud MD,” katanya.
DPR Papua telah menyerahkan aspirasi warga Papua, mengenai rencana pemekaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, 13 April 2022.
Aspirasi itu tidak hanya yang menolak rencana pemekaran Provinsi Papua, juga aspirasi warga yang mendukung. Aspirasi tersebut berasal dari warga di berbagai kabupaten di Papua.
“Makanya, saya minta pemerintah membentuk tim independen, turun ke daerah melakukan kajian, baik di daerah yang mayoritas mendukung maupun mayoritas menolak rencana pemekaran. Harus diakui, tidak semua warga Papua menolak rencana pemekaran, dan tidak semua mendukung,” ujar Kadepa.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengatakan 82 persen rakyat Papua dan Papua Barat menyetujui wacana pemekaran Papua atau rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB).
“Angka itu didapatkan berdasar hasil survei lembaga kepresidenan. Kalau setuju tidak setuju itu biasa, hasil survei yang dilakukan lembaga kepresidenan itu malah 82 persen rakyat Papua itu minta pemekaran,” kata Mahfud MD saat memberi keterangan di Jakarta pada 25 April 2022 lalu.
Katanya, perihal pro dan kontra pendapat di kalangan masyarakat, hal itu dianggap sebagai dinamika yang umum.
Terlebih di Papua sendiri tidak jarang ada unjuk rasa dilakukan di depan umum baik itu dari kalangan yang mendukung maupun menolak rencana pembentukan DOB. (*)
Discussion about this post