Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyatakan selama ini pemerintah tidak memiliki grand design atau rencana besar yang berisi arah kebijakan penyelesaian konflik Papua. Ketiadaan grand design itu membuat penyelesaian konflik di Papua tidak kunjung terlaksana.
“Itu sudah terlalu lama. Kalau kita hitung pada era Otonomi Khusus Papua, salah satu problem utama di Papua adalah penyelesaian konflik. Selama ini kita tidak memiliki sebuah agenda khusus untuk penyelesaian konflik,” kata Ramandey di Kota Jayapura pada Selasa (15/11/2022).
Ramandey menyatakan selama ini pemerintah hanya fokus membangun Papua melalui pendekatan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, dan lain-lain. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tidak mempunyai grand design penyelesaian konflik yang selama ini terjadi di Papua
“[Penyelesaikan konflik di Papua] stagnan. Tidak ada desain tim yang bekerja secara paralel untuk membangun upaya penyelesaian [konflik] itu,” ujarnya.
Ramandey menyampaikan ketiadaan grand design penyelesaian konflik di Papua membuat berbagai lembaga negara, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) bekerja sendiri-sendiri untuk mencegah kekerasan baru di Papua. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI yang kini telah berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional misalnya bekerja sendiri dan mengeluarkan dokumen rekomendasinya. Di pihak lain, Komnas HAM juga bekerja apabila ada kekerasan di Papua.
“Pada era Otonomi Khusus Papua, tidak ada desain [penyelesaikan konflik Papua] yang baik. Kerja-kerja itu menjadi sporadis. LIPI bekerja sendiri mengeluarkan dokumen, apakah rumusan LIPI sampai sekarang ini masih relevan? Tentu butuh kajian baru. Komnas HAM juga dikritik karena pendekatan terlalu holistik. Jika ada kasus Komnas bekerja, ada kasus Komnas HAM bekerja, ada kasus Komnas HAM bekerja,” katanya.
Ramandey menegaskan penyelesaian konflik Papua membutuhkan rancangan besar yang berisi arah kebijakan penyelesaian konflik Papua. Berbagai pemangku kepentingan konflik Papua juga harus berkomitmen mencegah terjadinya kekerasan baru di Papua.
“Kita harus punya satu komitmen bersama-sama untuk penyelesaian kasus kekerasan di Papua. Yang paling memungkinkan adalah dialog. Satu-satu [jalan penyelesaian konflik adalah] melalui dialog. Penyelesaian konflik di seluruh dunia [juga menggunakan mekanisme] dialog. Tidak ada cara lain. Berperang itu hanya akan menimbulkan masalah,” ujarnya. (*)