Jayapura, Jubi – Aktivis Papua, Arim Tabuni meminta pemerintah Indonesia tidak sibuk mengurus pemekaran Papua dan pembentukan provinsi baru. Tabuni menilai lebih baik pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, dan memastikan para prajurit TNI AD yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi di Kabupaten Mimika diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika.
Hal itu dinyatakan Arim Tabuni di Kota Jayapura, Selasa (15/11/2022). Tabuni menilai pemekaran Papua dan pembentukan tiga provinsi baru hanya akan menjadi jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mengerahkan lebih banyak pasukan, dan membentuk komando teritorial baru.
“Pemberian Daerah Otonom Baru itu merupakan [bentuk] ketidakseriusan pemerintah Indonesia mengurus masalah pelanggaran HAM. Termasuk [juga mengurus] kasus mutilasi empat warga Nduga di Mimika. Hal itu membuktikan bahwa negara Indonesia mencederai nilai kemanusiaan dan merendahkan martabat Orang Asli Papua,” kata Tabuni.
Pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Keempat korban itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Tabuni meminta berkas perkara enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo telah dilimpahkan ke Makassar dan Jayapura dikembalikan, untuk dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Kota Timika. Hal itu untuk memenuhi permintaan keluarga keempat korban yang meminta semua pelaku pembunuhan dan mutilasi itu diadili di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.
“Keluarga telah meminta berulang kali, [meminta] proses persidangan pembunuhan empat warga sipil asal Nduga di Kabupaten Mimika agar disaksikan pihak keluarga. Itu harus diindahkan, jangan diabaikan begitu saja,” katanya.
Tabuni mengingatkan keluarga korban dan pemerhati HAM telah meminta para pelaku pembunuhan dan mutilasi di Mimika itu dihukum mati. “Pelaku harus dihukum. Sebab mutilasi adalah tindakan yang sangat keji dan semua agama melarangnya. Jangan ada hukum tebang pilih dalam proses nanti,” katanya.
Tabuni juga mengingatkan pasca kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika itu telah terjadi sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan di Tanah Papua. Ia mencontohkan kasus kekerasan aparat keamanan di Kabupaten Keerom, Kabupaten Mappi, Kabupaten Dogiyai. “Kami meminta para pelaku [kekerasan] itu dipecat dari kesatuannya, sebab mereka telah melanggar HAM,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan desakan yang disampaikan Australia, Kanada, Belanda, Slovenia, dan Amerika Serikat pada Sidang Pemantauan Berkala Pemajuan HAM PBB di Geneva, Swiss pada Rabu (9/11/2022) pekan lalu menunjukan berbagai negara tersebut mengkhawatirkan keselamatan Orang Asli Papua. Desakan itu menunjukkan bahwa berbagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menilai Indonesia tidak serius mengurus pelanggaran HAM di Papua.
“Sorotan dari negara anggota PBB menunjukan, negara Indonesia [dinilai] tidak serius urus persoalan HAM. Tidak ada investigasi independen atas kasus pelanggaran HAM di Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003, juga pelanggaran HAM lain. Itu melahirkan dugaan terjadi impunitas, yang pada gilirannya sangat merugikan rakyat Papua dan terus menjadi sorotan dunia internasional,” kata Warinussy.
Ia meminta pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk serius menyelesaikan rentetan pelanggaran HAM di Papua. Ia juga meminta Jokowi memerintahkan proses penegakan hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003.
“Kami mendesak agar investigasi independen terhadap berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat tersebut. Komisi Nasional HAM [juga harus menginvestigasi] kasus [kekerasan di] Kabupaten Dogiyai, Nduga, Yahukimo, Maybrat, Teluk Bintuni, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, maupun Intan Jaya,” kata Warinussy. (*)