Jakarta , Jubi – Menanggapi persetujuan Baleg DPR RI atas tiga RUU pembentukan tiga provinsi baru di Papua, sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan tanggapan.
Peneliti utama, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas mengatakan, ”Kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat dan akan semakin menyulitkan negara dalam mengakhiri konflik bersenjata Papua.” kata Cahyo sebagaimana dikutip dari rilis pernyataan sikap Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Jumat, 8 April 2022.
Menurutnya, pemekaran provinsi Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat telah ditolak oleh orang asli Papua pada 1999, tetapi tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan dilegalkan pada tahun 2021.
“Pemekaran ‘top down’ yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” kata Cahyo yang juga merupakan anggota Jaringan Damai Papua (JDP).
“Siklus kekerasan politik di Papua telah menimbulkan banyak korban sipil dan pengungsian. Revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan pemekaran provinsi ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Akibatnya, orang asli Papua semakin merasakan tidak adanya rasa aman dan memperkuat memoria passionis mereka atas pengalaman kelam masa lalu,” katanya.
Kritik atas pemekaran Papua juga muncul dari kalangan pegiat reformasi keamanan dan hak asasi manusia. Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menyatakan khawatir jika kebijakan pemekaran wilayah Papua, akan digunakan untuk membenarkan penambahan kehadiran militer di Papua.
“Setelah membentuk provinsi-provinsi baru, pemerintah pasti aka membangun komando-komando teritorial yang baru. Sehingga seolah-olah pemerintah tidak lagi perlu mengerahkan pasukan militer non-organik. Kami khawatir, pada akhirnya Papua akan menjadi wilayah dengan kehadiran militer terbesar, setidaknya itu berpotensi mendorong pemerintah membuat lima Kodam organik Papua,” kata Gufron/Husein.
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy menambahkan, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua belum ada yang selesai, termasuk yang terjadi di masa lalu. “Seharusnya DPR membantu pembentukan pengadilan HAM di Papua, termasuk pembentukan pengadilan ad hoc,” katanya.
Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak DPR mendorong pemerintah untuk menghentikan baku tembak yang terus meningkat. Pemerintah dan DPR harus segera mengundang MRP dan Gubernur Papua untuk membicarakan kebijakan tersebut.
“Kami mengimbau Pemerintah dan DPR untuk menghormati uji materi atas Revisi Kedua UU Otsus yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Kami juga mendesak pemerintah dan DPR mempertimbangkan usul Komnas HAM untuk mendorong dialog dengan semua komponen rakyat Papua, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP),” kata Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu.
“Kami juga mendesak Pemerintah membatalkan rencana pembentukan provinsi baru di Papua atau setidaknya menunda rencana tersebut sampai ada putusan MK pada beberapa bulan mendatang. Ini adalah kemunduran demokrasi di Papua. Alih-alih menghormati semangat otonomi khusus, pemerintah justru melakukan resentralisasi politik pemerindahan daerah,” tambah Direktur Public Virtue Miya Irawati.
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid membenarkan, pemekaran di Papua seharusnya melibatkan MRP sebagai representasi kultural OAP. Hal itu, menurutnya, diatur dalam UU Otsus sebagai bentuk perlindungan hak-hak orang asli Papua.
“Dalam beberapa waktu terakhir ini muncul demonstrasi tolak pemekaran yang sangat besar dan melahirkan korban jiwa. Pemekaran Papua mendorong situasi yang tidak kondusif bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua,” kata Usman.
Provinsi Papua Selatan akan diberi nama Anim Ha dengan ibu kota Merauke dan lingkup wilayah Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat, serta Boven Digoel
Provinsi Papua Tengah bakal bernama Meepago dengan ibu kota Timika, lingkup wilayahnya Kabupaten Mimika, Paniai, Dogiyai, Kabupaten Deyiai, Intan Jaya, serta Kabupaten Puncak.
Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan Tengah akan diberi nama Lapago. Ibu Wamena dan mencakup wilayah Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Tolikara, Yahukimo, serta Kabupaten Yalimo.(*)
Discussion about this post