Jayapura, Jubi – Akademisi Universitas Cenderawasih, Elvira Rumkabu mengatakan pemerintah, terutama para elit pemerintah, selalu melihat dampak pemekaran di Papua hanya dari sudut pandang pembangunan saja. Padahal, sangat penting untuk melihat dampak pemekaran dari kacamata paling mikro, yaitu dari sudut pandang masyarakat di kampung-kampung.
Hal itu dinyatakan Rumkabu selaku pemateri dalam webinar “DOB Papua: Studi dan Riset?” yang diselenggarakan secara daring oleh Perhimpunan Mahasiswa Papua Jerman pada Sabtu (25/06/2022). Rumkabu menerangkan tujuan pemekaran memang baik, tapi selama ini narasi yang disampaikan pemerintah hanyalah terbatas kepada sudut pandang pembangunan saja. Akibatnya, kenyataan yang ditemukan di lapangan kerap berbanding terbalik dengan tujuan utama pemekaran wilayah.
“[Pemerintah selalu menyatakan] bahwa pemekaran itu penting, tujuan untuk memeratakan pembangunan, untuk menyejahterakan orang Papua, untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan supaya akses layanan mendasar sampai kepada orang asli Papua. Akan tetapi, narasi pemekaran itu kan narasi pembangunan, selalu itu hal utama yang kita dengarkan. Narasi itu berlaku di pemerintahan pusat atau elit-elit Papua yang akhirnya menyetujui pemekaran,” katanya.
Rumkabu menggemukan hasil awal dari Riset Koalisi Kampus yang dilakukan di tiga kabupaten hasil pemekaran—salah satunya yaitu Kabupaten Boven Digoel—menemukan fakta bahwa pembentukan kabupaten baru itu jauh dari harapan masyarakat Papua. Pasca pemekaran wilayah, ternyata akses kebutuhan dasar masyarakat seperti fasilitas kesehatan, sarana pendidikan dan infrastruktur jalan masih kurang memadai.
“Di Kampung Aiwat dan Kampung Subur, Kabupaten Boven Digoel, kami temukan akses pelayanan kesehatan sangat terbatas, hanya sebulan sekali, karena tidak ada puskesmas, tidak ada puskesmas pembantu. Akses pendidikan hanya ada Sekolah Dasar. Kalau ingin melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA, mereka harus keluar dengan jarak tiga puluh menit sampai satu jam memakai speed boat dan itu membutuhkan uang,” ujarnya.
Rumkabu mengatakan tempat masyarakat mencari pangan semakin terbatas akibat pencemaran lingkungan oleh aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Sungai Digoel. Dulu sungai itu menjadi salah satu sumber air bersih bagi masyarakat, tapi sekarang sudah tidak bisa digunakan.
Rumkabu juga mengemukakan bahwa pembangunan Jalan Trans Papua hanya menguntungkan pihak tertentu saja, khususnya mempermudah transportasi barang dan jasa bagi pelaku usaha. Masyarakat tidak bisa menggunakan akses jalan itu, karena mereka tinggal jauh dari akses Trans Papua. Sementara akses jalan yang menghubungkan wilayah permukiman masyarakat dengan Jalan Trans Papua dibiarkan rusak tanpa ada perhatian pemerintah.
“Jadi jangan membayangkan Jalan Trans Papua itu kemudian ada orang-orang Papua tinggal di pinggir-pinggir jalan itu, itu tidak begitu. Orang Papua tinggal beberapa kilometer lagi [dari Jalan Trans Papua], mereka di dalam hutan-hutan sana” ujarnya. (*)
Discussion about this post