Jayapura, Jubi – Kepala Bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun menyatakan pemekaran Papua hanya akan memecah belah Orang Asli Papua. Hal itu dinyatakan Balubun dalam diskusi publik “Menyoal Daerah Otonomi Baru: Benarkah untuk Menyelesaikan Masalah di Papua?” yang diselenggarakan Kontras secara daring pada Senin (13/6/2022).
Menurut Balubun, proses pemekaran Papua yang sedang dijalankan pemerintah pusat memecah Orang Asli Papua dalam wilayah kesukuan. Balubun mencontohkan pemekaran yang telah terjadi saat ini, yang menurut Balubun mengotak-ngotakkan orang Papua berdasarkan suku.
Itulah sebenarnya sumber perpecahan orang Papua hari ini. Pemekaran itu membuat perpecahan orang Papua, karena dia kembali ke suku-suku.,” ujarnya.
Balubun menyatakan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) yang diperbarui dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) telah membuat banyak Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua. Akan tetapi, Balubun menilai konflik Papua justru semakin meningkat di DOB hasil pemekaran wilayah.
“Sejumlah daerah pemekaran yang diharapkan membawa perubahan justru menimbulkan situasi [persoalan] baru, karena terjadi konflik di mana-mana. Konflik yang semakin luas justru terjadi di daerah pemekaran,” katanya.
Balubun menyatakan sejumlah daerah hasil pemekaran, seperti Intan Jaya, Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Pemekaran telah menambah pasukan keamanan dikirim untuk menjaga keamanan di Daerah Otonom Baru (DOB), dan kehadiran mereka kemudian menimbulkan konflik baru.
“Daerah pemekaran belum memiliki fasilitas yang lengkap sehingga fasilitas umum seperti sekolah, daerah pemukiman masyarakat itu digunakan sebagai markas TNI/Polri, yang akhirnya mengorbankan masyarakat. Itu terjadi di daerah pemekaran, contohnya sekolah di Intan Jaya dijadikan markas tentara,” ujarnya.
Balubun menyampaikan pemerintah pusat seharusnya mendengarkan aspirasi Orang Asli Papua yang telah disampaikan Majelis Rakyat Papua terkait penolakan atas pemekaran Papua. Namun, pemerintah pusat malah membungkam ruang demokrasi Orang Asli Papua dengan membubarkan demonstrasi yang menolak pemekaran Papua.
“Hari ini, luar biasa, benar-benar ruang demokrasi ditutup. Artinya pemerintah Indonesia menutup telinga dan hatinya untuk mendengarkan suara rakyat yang menolak pemekaran Papua,” katanya.
Laporannya berjudul “ Perburuan Emas: Rencana Penambangan Blok Wabu Berisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua ” yang dipublikasikan Amnesty Internasional telah mendokumentasikan penambahan aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah pemekaran sejak 2019, dari yang semula hanya dua pos militer meningkat menjadi 17 pos militer.
Amnesty juga mencatat setidaknya terjadi 12 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, pembebasan pembebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh Orang Asli Papua setempat. (*)
Discussion about this post