Jayapura, Jubi – Aktivis penggiat budaya Selvi Yeimo menilai kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia mengabaikan aspek lingkungan hidup dan karakteristik wilayah. Akibatnya, kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia rentan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan merugikan masyarakat.
Selvi Yeimo menilai kebijakan pembangunan pemerintah Belanda di Papua justru lebih bagus, karena mempertimbangkan karakteristik wilayah. “Pemerintah Belanda kalau membangun sangat pertimbangkan aspek lingkungan hidup. Mereka tidak memaksakan membangun tempat yang tidak layak dibangun, apalagi tempat keramat orang Papua [dan] dusun sagu,” kata Yeimo dalam diskusi bedan buku “Dosa dan Masa Depan Planet Kita” di Kota Jayapura, Kamis (21/7/2022).
Yeimo mencontohkan, praktik pembangunan permukiman di Kota Jayapura dan lokasi yang dijadikan pusat pemerintahan Daerah Otonom Baru (DOB) tidak mempertimbangkan dampak lingkungan hidup. “Salah satu contoh, di perumahan Organda di Distrik Abepura, [Kota Jayapura], tempat [itu] tidak layak untuk membangun rumah. Sekarang, apabila ada hujan, tergenang air, membuat masyarakat mengungsi, [mengalami kerugian] materi dan energi,” katanya.
Menurut Yeimo, pemerintah juga kerap mengabaikan tempat keramat, tempat inisiasi, dusun sagu, ataupun lahan produktif yang dijadikan perkebunan tanaman pangan seperti ubi. “Pemerintah semestinya memahami karakteristik wilayah, dan jangan memaksakan kebijakan yang merugikan masyarakat juga Planet Bumi kita,” katanya.
Kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan hidup disebut Yeimo sebagai kebijakan yang bertentangan dengan ajaran teologi. “Sebab, saat Tuhan hendak menciptakan Bumi, Tuhan sudah menciptakan dan menaruhnya sesuai lokus, baik hutan, gunung, laut, dan sebagainya. Tapi, kita manusia membangun seolah-olah tidak mempertimbangkan karakterikstik wilayah. Itu masalah bagi kita saat ini,” katanya.
Perencanaan pembangunan yang mengarusutamakan aspek lingkungan hidup harus dikampanyekan, termasuk melalui pendidikan lingkungan bagi anak-anak. Yeimo menyatakan pendidikan lingkungan harus dikemas secara menarik, agar bisa ditonton oleh anak-anak.
Yeimo menyatakan pendidikan lingkungan juga harus memanfaatkan berbagai jenis media baru. “Supaya pesan tentang lingkungan bisa tersampai kepada anak-anak yang akan menjadi penyelamat planet kita pada 20 tahun ke depan. Kita menulis buku, tetapi kita lupa bahan pembelajaran anak-anak yang bisa menjadi [mereka] peduli lingkungan hidup,” katanya. (*)
Ralat: Dalam pemberitaan awal, terdapat kesalahan penyebutan narasumber pada kalimat pertama paragraf pertama, “Antropolog Selvi Yeimo”. Pada 22 Juli 2022 pukul 08.09, penyebutan itu diganti menjadi “Aktivis penggiat budaya Selvi Yeimo”. Kami memohon maaf atas kesalahan tersebut.