Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari, Cristian Yan Warinussy menyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus serius memperhatikan konflik di Tanah Papua. Keseriusan penting untuk menyudahi konflik sosial politik yang menimbulkan konflik bersenjata berkepanjangan di Tanah Papua.
Warinussy menyatakan konflik bersenjata yang berujung terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia berat telah terjadi semenjak penguasaan Tanah Papua dialihkan dari Belanda kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Ia menyebut propaganda kekerasan di Papua sesungguhnya sudah dimulai sejak Presiden Soekarno menyerukan Tri Komando Rakyat di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Berbagai kekerasan itu memicu konflik bersenjata.
“LP3BH Manokwari juga mendapat beberapa fakta berikut yang menunjukkan secara jelas tentang ketidakadilan pelaksanan referendum tahun 1969. Pemerintah Indonesia menyebut referendum tersebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera. Referendum [itu dilakukan] tanpa pemenuhan hak-hak politik rakyat Papua secara adil dan bermartabat,” kata Warinussy.
Warinussy menyatakan fakta Pepera 1969 dilakukan melalui wakil rakyat Papua, yang tidak seluruhnya Orang Asli Papua. Di antara mereka, ada pula para guru, rohaniawan, politisi, pegawai negeri, paramedis, dan karyawan swasta yang bukan merupakan waki resmi rakyat Papua.
Selain itu, pada 1969 terjadi penempatan prajurit TNI di hampir semua wilayah Tanah Papua untuk mengawasi pelaksanaan Pepera. Pada saat itu, terjadi penangkapan dan penahanan sejumlah warga asli Papua dari beragam latar belakang, seperti guru, mantri, pegawai negeri, aktifis pemuda, karyawan swasta, rohaniawan, dan buruh. Mereka ditangkap dan ditahan dengan tanpa bukti maupun penjelasan mengenai apa kesalahan atau pelanggaran yang menyebabkan mereka ditangkap.
Sebelumnya, pada 1965, terjadi pembunuhan kilat atau summary execution terhadap sekitar 53 orang warga asli Papua di Arfay, Kabupaten Manokwari. Pasca penyelenggaraan Pepera 1969, kekerasan di Tanah Papua berlanjut dengan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang terjadi di seluruh wilayah. Warinussy mencontohkan, di Biak para tahanan politik yang ditahan di Markas TNI Angkatan Laut di Sorido. Di Manokwari, mereka ditahan di Markas Kodim, Jalan Brawijaya, Manokwari. Berbagai kekerasan itu memicu konflik bersenjata di Tanah Papua.
“Untuk itu Majelis Umum PBB dapat mengagendakan pembahasan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang senantiasa terus terjadi tanpa langkah penyelesaian secara hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, sidang Dewan HAM PBB pada Senin (12/9/2022) menyoroti kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga yang berada di Kabupaten Mimika. Pembunuhan dan mutilasi itu melibatkan sedikitnya enam prajurit TNI dan empat warga sipil.
Kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 itu disebut Pelaksana Tugas Komisioner Tinggi HAM PBB, Nada Al-Nashif dalam sidang Dewan HAM PBB pada Senin. Al-Nashif menyatakan mengatakan pihaknya mendapat laporan tentang kekerasan yang semakin intensif di Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Di wilayah Papua, [Provinsi Papua dan Papua Barat], di Indonesia, kami mendapat laporan tentang kekerasan yang semakin intensif, termasuk bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata yang mengakibatkan korban sipil dan korban jiwa yang tidak diketahui jumlahnya, serta pengungsian internal,” kata Al-Nashif dalam pernyataan umumnya saat membuka sesi ke-51 Sidang Dewan HAM PBB.
Al-Nashif juga mengatakan ia menerima laporan terbaru tentang pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Timika, Papua. “Saya terkejut dengan laporan baru-baru ini, tentang mutilasi empat warga sipil asli Papua yang ditemukan di luar Timika, di Provinsi Papua, pada tanggal 22 Agustus,” ujarnya.
Al-Nashif mencatat upaya awal Pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kasus pembunuhan dan mutilasi itu, termasuk penangkapan setidaknya enam prajurit TNI. Namun ia berharap upaya itu ditindaklanjuti dengan penyelidikan yang menyeluruh, tidak memihak, dan independen. “Mereka yang bertanggungjawab harus dimintai pertanggungjawabannya,” kata Al-Nashif. (*)