Oleh: Thomas Ch Syufi
Di tengah bergulirnya gugatan MRP ke MK (belum ada putusan MK yang memiliki kepastian hukum sekaligus berkekuatan hukum tetap/inkracht dan mengikat), pemerintah secara paksa mengajukan RUU Pemekaran (Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah) ke DPR untuk disahkan pada 30 Juni 2022, tanpa memperhatikan aspirasi penolakan mayoritas rakyat Papua.
Pemerintah dan DPR sengaja mengimitasi sejarah provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) yang lahir tanpa payung hukum (hanya melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003, yang tidak termasuk hierarki peraturan perundang-undangan). Secara yuridis keberadaan provinsi tersebut bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.
Hingga saat itu Gubernur Papua JP Solossa dan Ketua DPR Papua John Ibo, menggugat eksistensi provinsi Papua Barat ke MK (2004). Namun “dikalahkan” oleh MK dan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), itu mengakui keberadaan Provinsi Papua Barat tanpa dasar hukum.
Tentu MK merujuk pada analogi bahwa bayi yang sudah lahir tidak mungkin dikembalikan ke rahim ibu. Juga alasan sosiologis, yaitu MK mempertimbangkan eskalasi konflik horizontal dan vertikal yang akan menyusul jika MK mengabulkan permohonan tersebut.
Padahal, MK sebagai lembaga peradilan yang merdeka dan bebas dari segala anasir kepentingan, termasuk pertimbangan politik dan intervensi kekuasaan, harus memutus perkara tersebut secara adil, bukan menjerumuskan MK dalam miscarriage of justice (peradilan sesat). Nic curia deficeret in justitia exhibenda (pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma wangi akan keadilan).
Namun, melalui lembaga eksekutif dan legislatif Indonesia memecah-belah orang Papua dengan berbagai politik hukum (rekayasa regulasi). Tindakan DPR mengesahkan tiga RUU untuk pemekaran tiga provinsi di Papua, dinilai mencederai reputasi institusi parlemen sebagai lembaga wakil rakyat dan pembuat undang-undang. Ini adalah tindakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh parlemen.
Segelintir elite politik di DPR yang lahir dari dukungan suara mayoritas rakyat pada pemilu 2019 (entah melalui hasil murni atau kecurangan) telah mengkhianati aspirasi mayoritas rakyat Papua yang menolak pemekaran, dengan menjadi “sapi perah” eksekutif (pemerintah) dan merusak prinsip trias politika yang menghendaki check and balance system (sistem saling menyeimbangi atau mengontrol) serta separation of power (pemisahan kekuasaan) yang tegas dan jelas.
Salah satu tugas legislatif adalah mengontrol eksekutif dan mempertimbangkan RUU yang diajukan oleh pemerintah yang tidak bersumber dari aspirasi rakyat Papua dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
DPR sebagai salah satu pilar utama penegakan demokrasi selain eksekutif, yudikatif, dan pers, telah kehilangan arah. Tindakan DPR yang mengabaikan aspirasi rakyat dan cenderung mengedepankan kepentingan elite dan oligarki, membuat lembaga tersebut menjadi “hantu” yang menakutkan. DPR melakukan intrik dan mendestruksi jiwa demokrasi yang menjadi cerminan dari semangat kedaulatan rakyat yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UU 1945.
Kedaulatan rakyat berada di supremasi konstitusi, bukan tidur di “menara gading” parlemen. Tampak parlemen sudah kehilangan roh kerakyatan dan telah menjadi alat rekayasa politik di Senayan, sekaligus sebagai the guardian of oligarchy (penjaga oligarki).
Perubahan UU Otsus Papua Jilid II yang melahirkan pemekaran tiga provinsi baru tanpa persetujuan MPR dan DPRP, yang memicu pro-kontra di Papua adalah hasil rekayasa para politisi di parlemen yang minim moralitas dan kredibilitas.
Meski belum ada putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding), patut dikatakan bahwa UU Otsus Papua hasil perubahan Jilid II adalah ilegal. Status UU Otsus yang ilegal, delegitimasi, dan tak memiliki kepastian hukum, itu digunakan oleh pemerintah pusat untuk memekarkan tiga provinsi baru di Papua, yang RUU-nya sudah ditetapkan oleh DPR RI, 30 Juni 2022.
Apakah ini potret buram wajah negara hukum dan demokrasi? Di mana tujuan negara hukum yang menurut filsuf dan ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, yaitu mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan? Justru yang dilakukan oleh para law maker di pusat adalah anomali, yang dapat menggerus kredibilitas Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi di mata rakyat Papua, bangsa Indonesia, dan komunitas internasional.
Bahkan, pemekaran yang dilahirkan dari sebuah proses penyelundupan hukum itu juga mengikuti jalan yang sama seperti mengubah UU Otsus secara sepihak. Pemekaran dilakukan tanpa melibatkan rakyat Papua, kilat, dan pemaksaan. Belum pernah ditemukan, demi mencari sebuah kebenaran dan keadilan, atau hanya karena ikhtiar akselerasi kesejahteraan, harus pemerintah dan DPR melanggar norma-norma hukum, kecuali pelanggaran itu demi kepentingan HAM yang mendesak (intervensi kemanusiaan).
Sejarah juga akan mencatat, tenggat waktu pembahasan tiga undang-undang terkait tiga provinsi: Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah pun dilakukan cukup cepat—tehitung hanya 2,5 bulan sejak RUU tersebut disahkan sebagai inisiatif DPR pada 12 April 2022.
Padahal, daerah lain, seperti Banten, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTB, NTT, dan Sumatera Utara, yang memperjuangkan pemekaran satu sampai dua provinsi saja belum terwujud, bahkan perjuangan itu sudah berlangsung belasan hingga puluhan tahun!
Sikap pemerintah pusat secara sepihak merevisi UU Nomor 21 Tahun 2021, membuat orang Papua makin gamang dan cemas akan masa depannya dalam Indonesia. Otsus yang diharapkan menjembatani konflik Papua, tak diberlakukan secara murni dan konsekuen selama 20 tahun lebih. Bahkan memasuki tahap baru perubahan UU Otsus Jilid II, tahun 2021, pun menjadi fatal, karena perubahan itu cenderung dipaksakan dan tak ada partisipasi rakyat Papua, mulai dari proses pembahasan hingga penetapan RUU.
Apakah ini konsekuensi dari prinsip negara integral (kesatuan), yaitu pemegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segala urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa ada delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah.
Namun, Indonesia adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan, yaitu adanya tugas-tugas dan urusan-urusan yang harus diurus sendiri oleh daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat yang berlebihan. Relasi pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat simbiosis mutualisme (resiprositas), yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan, bukan saling mendominasi atau mencengkeram.
Secara logika, otsus adalah semi dari kemerdekaan suatu bangsa, yang memiliki power untuk mengurus rumah tangga (daerahnya) sendiri, untuk menjadi maju dan mandiri. Kecuali urusan-urusan lain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, seperti, hubungan luar negeri, agama, keamanan, fiskal-moneter, dan peradilan. Maka, urusan pemekaran DOB dan perubahan UU Otsus Papua adalah hak rakyat Papua yang diwakili oleh MRP dan DPRP.
Namun, kekhususan yang diatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, yang filosofi dasarnya mengatur tentang keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap OAP, itu telah dibajak dan “didesakralisasi” oleh kepentingan elite politik dan oligarki nasional, yang berkolaborasi dengan elite politik lokal berwajah oportunis harian, parce diem, di Papua.
Undang-Undang Otsus Papua yang dinilai sebagai payung untuk bisa melindungi dan menyelamatkan masa depan orang Papua dalam NKRI, ini telah ‘dirobek’ oleh kepentingan elite nasional atas nama mitos kesejahteraan rakyat Papua. DPR dan pemerintah sangat kontekstual melihat problem Papua dari optik kesejahteraan daripada aspek yang lebih luas, seperti keadilan, HAM, ancaman untuk penduduk asli, termasuk pengrusakan dan pengerukan sumber daya alam di Papua oleh partai-partai penguasa dan kaum oligarki di Jakarta.
Yang terjadi dari pemekaran adalah mobilisasi penduduk non-Papua akan semakin banyak dan menguasai penduduk asli di berbagai sendi kehidupan, seperti, ekonomi dan politik, serta secara demografi, komposisi OAP juga akan menurun, menjadi minoritas di negeri sendiri dan berpotensi menuju genosida.
Selain itu, pemekaran juga akan memicu pengerahan pasukan yang lebih besar yang ditempatkan di tiga provinsi baru tersebut, hingga dikhawatirkan membangkitkan memoria passionis (ingatan penderitaan) orang Papua dan memperburuk situasi HAM di Papua.
Hal tersebut, menurut Direktur Eksekutif Public Virtue Institute Miya Irawati, dianggap selaras dengan keperluan mengamankan investasi dan bisnis, serta meredam aspirasi kemerdekaan Papua. “Pada 2021, Polda Papua memiliki sekitar 11.000 personel. Maka dengan adanya tiga provinsi baru, angka ini (secara kasar) bisa bertambah tiga kali lipat,” kata Irawati (Kompas.com, 14/4/2022).
Melihat kondisi itu, OAP akan menjadi pesimistis dan khawatir akan masa depannya dalam Indonesia, terutama kebijakan politik otsus di Papua. Janji keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian untuk OAP dalam kerangka otsus hanyalah sebuah imajinasi belaka. Karena UU Otsus yang dianggap memiliki landasan filosofis yang luhur untuk proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan terhadap OAP—hanya sebatas jargon yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia—tetapi miskin esensi.
Undang-Undang Otsus hanya tampak indah pada sampulnya, tetapi substansi adalah otonomi biasa (khusus di bidang anggaran yang begitu besar). Bahkan sewaktu-waktu UU Otsus Papua dicabut atau dibekukan oleh pemerintah pusat, dan itu tergantung dinamika sosial-politik di masa depan. Misalnya, apabila telah tercapai tujuan politik pemerintah pusat, seperti berhasil mengkotak-kotakkan dan menguasai orang Papua serta atmosfer perlawanan atau tuntutan kemerdekaan Papua kian melemah dan pupus, maka Otsus Papua dihapus.
Ketika itu terjadi, status Papua akan menjadi selinier dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Artinya, Papua akan menjadi daerah tanpa otsus dan semua orang Indonesia bebas dan punya hak yang sama untuk melakukan apa pun di Tanah Papua seperti OAP! (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua