Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia dan pendamping keluarga korban tragedi Paniai Berdarah, Yones Douw mengatakan Negara masih melindungi para pelaku tragedi Paniai Berdarah agar lolos dari jeratan hukum. Douw mengkritik proses hukum dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dalam kasus Paniai Berdarah yang gagal menjangkau para petinggi militer yang diduga memberikan perintah penembakan para korban tragedi yang terjadi pada 8 Desember 2014 silam.
Douw mengatakan ada saksi tragedi Paniai Berdarah yang menyaksikan petinggi militer memberi perintah kepada seseorang untuk melakukan penembakan.“Di depan masyarakat, pejabat militer yang bertugas saat itu memberi perintah tembak. Perintahnya kurang lebih ‘tembak saja, dalam masyarakat yang menuju Enarotali itu ada penyusupan pihak ketiga. Jadi tembak saja, jangan biarkan’,” kata Yones Douw melalui layanan pesan WhatsApp kepada Jubi, Kamis (25/8/2022).
Douw menyatakan IS, seorang purnawirawan perwira penghubung yang ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka tunggal perkara dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Paniai Berdarah justru tidak dikenali oleh berbagai pihak yang melakukan investigasi kasus Paniai Berdarah. “Tersangka IS ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus Paniai itu titipan dari siapa? Sebab, kami tidak temukan namanya dalam kasus Paniai Berdarah. [Penetapan tersangka itu] tidak sesuai fakta lapangan,” kata Douw.
Douw menilai sejak awal proses hukum kasus Paniai Berdarah menunjukkan ketidakadilan, ketidakbenaran, dan ketidakjujuran aparat penegak hukum. Itulah mengapa keluarga korban, korban, maupun saksi tragedi Paniai menolak menghadiri persidangan tragedi Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar.
“Kami menilai [langkah] Kejaksaan Agung RI menetapkan hanya satu orang tersangka tidak sesuai fakta lapangan. Keluarga korban kesal,” katanya.
Douw menilai persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar hanya akan menjadi sandiwara, pencitraan, dan tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban. “Kami sebagai keluarga korban menilai bahwa proses persidangan kasus Paniai murni untuk mencari nama baik di mata dunia Internasional, karena prosesnya ‘main lain, bicara lain’. Fakta lapangan lain, diangkat lain,” katanya.
Laporan Amnesti Internasional Indonesia berjudul “Suda, Kasih Tinggal Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” yang dipublikasikan 2018 menyatakan peristiwa Paniai terjadi ketika ratusan warga Papua berunjukrasa di dekat markas militer dan polisi setempat, di Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, pada 8 Desember 2014. Demonstrasi itu merupakan respon warga atas dugaan pemukulan 11 anak Papua oleh personil militer pada 7 Desember 2014.
Ketika para pengunjuk rasa mulai melemparkan batu dan kayu ke sekitar gedung-gedung tersebut, pasukan keamanan mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa menggunakan peluru tajam, menewaskan empat orang. Setidaknya 11 orang lainnya terluka oleh tembakan ataupun bayonet. Sejumlah warga telah bersaksi kepada Komnas HAM bahwa mereka melihat petugas polisi menembak seorang demonstran dari jarak dekat, bahkan setelah korban jatuh ke tanah.
Sekretaris Bersatu Untuk Kebenaran, Nehemia Yarinap mengatakan kasus Paniai terpaksa disidangkan demi mencuri perhatian masyarakat internasional, namun justru dijadikan alat untuk menutupi berbagai kasus pelanggaran HAM lain di Tanah Papua. “[Seharusnya] Indonesia hentikan permainan lama [seperti itu]. Hanya kalau ada sorotan luar negeri, baru berupaya untuk meraba-raba kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, hanya untuk menunjukan bahwa Indonesia menegakkan HAM. Padahal kenyataan di lapangan lain,” katanya.
Yarinap mengatakan jika Pengadilan HAM Makassar justru melanggengkan praktik impunitas, pengadilan itu akan gagal memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban. Yarinap menyatakan proses pengadilan seperti itu justru bisa mencederai nama baik PDI-Perjuangan sebagai partai Presiden Joko Widodo. “Kalau para pelaku Paniai Berdarah itu dibiarkan, akan membuat nama baik partai rusak di kemudian hari,” katanya. (*)