Jayapura, Jubi – Pendeta Magdalena Kafiar dari Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan negara bertanggung jawab melindungi rakyat Papua yang terdampak konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Hal itu disampaikan Kafiar sebagai pembicara dalam diskusi “Bagaimana Melindungi Masyarakat Sipil di Tengah Konflik Bersenjata di Papua” yang diselenggarakan secara daring oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua pada Jumat (5/8/2022).
Kafiar menyatakan aparat keamanan terus membuat pernyataan bahwa kondisi keamanan di Papua kondusif. Namun, menurut Kafiar aksi kekerasan dan konflik bersenjata terus terjadi di Papua, dan rakyat Papua yang selalu menjadi korban. “Hal itu tidak bisa kita pungkiri, karena [konflik dan kekerasan] itu terus terjadi,” ujarnya.
Kafiar menjelaskan konflik yang terus terjadi membuat ruang publik rakyat Papua diduduki para pihak yang terlibat konflik, sehingga ruang publik itu berubah menjadi area konflik. Hal itu berdampak pula terhadap masyarakat yang hidup dalam ancaman, baik itu berupa stigma, intimidasi, hingga dituduh sebagai mata-mata.
Kafiar menyatakan situasi konflik di Papua memaksa rakyat Papua untuk mencari tempat aman, sehingga banyak masyarakat yang mengungsi dari kampung halamannya. Di pihak lain, Negara membuat dan menjalankan kebijakan pengamanan tanpa melihat kondisi masyarakat sipil.
Kafiar mencontohkan pemerintah telah menambah pasukan di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, maupun di Kabupaten Nduga dan Kabupaten Intan Jaya, Papua. Pasukan tambahan itu diturunkan di berbagai wilayah tanpa memiliki markas yang jelas, dan akhirnya justru menduduki berbagai fasilitas publik seperti sekolah dan gereja. Hal itu justru membuat masyarakat merasa tidak aman.
“Mayarakat merasa, ‘kami seperti bukan tinggal di tempat milik kami, karena jumlah keamanan yang diturunkan melebih jumlah masyarakat setempat’. Dan, tidak ada jaminan masyarakat Papua selalu aman. Yang kami lihat, kami hadapi kekerasan, dan konflik itu ada terus,” ujar Kafiar.
Ia menyatakan Negara seharusnya tidak menerapkan kebijakan di Papua dengan hanya melihat sisi pengamanan. Kehadiran Negara melalui aparat keamanan seharusnya memberikan rasa aman bagi rakyat Papua, namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya.
Kafiar menyatakan aparat keamanan yang dikirim ke Papua seharusnya bisa mengerti karakter, situasi, dan kondisi rakyat Papua. “Jangan sampai fokus ke pengamanan itu malah memicu konflik, karena jumlah pasukan yang berjumlah terlalu banyak. Ditambah lagi, pasukan yang dikirim ke Papua tidak mengetahui karakter dan kondisi orang Papua,” katanya.
Sosiologi Universitas Cenderawasih, La Mochtar Unu menyampaikan konflik yang terus terjadi di Papua menyebabkan banyak masyarakat sipil menjadi korban. La Mochtar menyitir penelitian Gugus Tugas Universitas Gadjah Mada yang mencatat jumlah korban konflik di Papua dalam kurung waktu 2010 hingga Januari 2021.
Selama rentang waktu itu, terjadi 247 kasus kekerasan, dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 370 orang, dan korban terluka sebanyak 1.904 orang. “Yang meninggal dunia ini manusia bukan hewan,” kata La Mochtar Unu mengingatkan.
Ia menyatakan Negara harus bisa menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi di Papua. La Mochtar Unu menyatakan pemerintah seharusnya memperhatikan hasil penelitian Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia atau LIPI terkait Papua, dan menjalankan rekomendasi yang disampaikan LIPI.
Ia menilai hingga kini hasil penelitian LIPI itu hanya menjadi rujukan semata, namun tidak pernah diadopsi pemerintah sebagai kebijakan yang dijalankan untuk menyelesaikan konflik di Papua. “Kita bicara soal indikator yang LIPI lakukan untuk Papua baru. Apakah Papua baru sudah baru, atau masih belum tuntas soal itu,” ujarnya. (*)
Discussion about this post