Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Abniel Doo meminta Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota segera membebaskan tujuh mahasiswa yang ditangkap dalam pembubaran demonstrasi menolak Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 di Kota Jayapura pada Rabu (16/11/2022). Doo menyatakan demonstrasi mahasiswa dari berbagai kampus itu ricuh justru karena polisi menembakkan gas air mata saat massa melakukan waita.
Pada Rabu siang, polisi menangkap tujuh orang mahasiswa yang sedang mengikuti demontrasi menolak KTT G20 di Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura di Kota Jayapura. Ketujuh mahasiswa yang ditangkap polisi itu adalah Gerson Pigai, Yabet Lukas Degei, Habel Rupus Pauwok, Kamus Bayage, Ayus Heluka, Lukas Gane, dan Tinus Heluka.
Abniel Doo demonstrasi mahasiswa berbagai kampus di Kampus Uncen Abepura itu justru menjadi ricuh karena polisi melepaskan tembakan peringatan dan menembakkan gas air mata. Padahal, saat itu sebagian mahasiswa tengah duduk, dan sebagian mahasiswa lainnya tengah melakukan waita (lari berkeliling secara massal hingga membentuk pusaran arus manusia yang melingkar cepat).
“Tadi kami duduk melakukan orasi di depan Kampus Universitas Cendrawasih, sambil melakukan tradisi waita. Namun polisi mengeluarkan tembakan gas air mata ke massa aksi, massa menjadi kacau. Polisi juga terkena lemparan dari mahasiswa, alasan mahasiswa karena mahasiswa juga terkena gas air mata pada saat aksi tersebut,” kata Doo saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Rabu.
Doo mengatakan jika polisi tidak melepaskan gas air mata, massa tidak akan terpancing menyerang polisi. “[Jika tidak ada gas air mata], keributan itu sebenarnya tidak terjadi. Kami juga bisa menyampaikan aspirasi dengan baik ke Kantor DPR Papua. Pihak kepolisian bisa mengantar kami ke DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan mahasiswa Papua,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota, AKBP Victor Dean Mackbon mengatakan demonstrasi menolak KTT G20 dibubarkan polisi karena massa demonstrasi itu keluar dari kampus dan menyerang polisi. Hal itu dinyatakan Mackbon di halaman Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, Kota Jayapura, Rabu (16/11/2022).
Mackbon menyatakan sejak awal polisi telah menolak rencana demonstrasi itu. Akan tetapi, Mackbon menyebut sebenarnya demontrasi yang berlangsung di Auditorium Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura dan Kampus Uncen Waena sempat berjalan dengan baik.
“Petugas mengamankan dengan baik. Tetapi, [massa aksi] yang di auditorium itu terprovokasi sehingga melawan garis petugas, dan masuk ke badan jalan. Mereka ingin melakukan long march. Itu kami prediksi adalah niatan tidak baik. Untuk itu, kita sebagai aparat yang menjaga keamanan melakukan dorongan kepada massa yang terprovokasi tersebut,” kata Mackbon.
Tuntutan mahasiswa
Wakil koordinator aksi itu, Alfa Hisage membacakan pernyataan sikap Alinasi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jayapura. “Kami memandang bahwa KTT G20 di Denpasar Bali Indonesia akan menghancurkan masa depan orang asli Papua. Oleh sebab itu kami menyampaikan kepada pemerintah Indonesia negara negara anggota G20 agar hentikan rancangan kematian bagi OAP,” katanya.
BEM se-Jayapura menyatakan menolak KTT G20, dan meminta semua izin perusahaan asing di Papua dicabut. Pemerintah Indonesia diminta menghentikan eksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua, dan diminta mengusut kasus kematian aktivis pergerakan kemerdekaan Papua, Filep Karma.
Para aktivis BEM se-Jayapura itu juga meminta Panglima TNI memastikan agar enam prajurit TNI AD yang menjadi tersangka kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga asal Nduga di Kabupaten Mimika segera diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika. Sementara Presiden Joko Widodo diminta menarik semua pasukan militer dari wilayah konflik bersenjata di Papua, termasuk Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo, dan Dogiyai, dan segera menangani berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Negara-negara anggota G20 diminta mendorong pemerintah Indonesia untuk menarik pasukan militer organik dan non organik mereka dari Tanah Papua. Para mahasiswa itu juga menolak Otonomi Khusus Papua dan pembentukan tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua.
Pemerintah Indonesia diminta berhenti membungkam ruang demokrasi di Papua, dan berhenti mengkriminalisasi jurnalis Papua maupun jurnalis Indonesia. Pemerintah juga diminta membuka akses bagi wartawan asing untuk melibat situasi HAM di Tanah Papua. Selain itu, Pemerintah Indonesia didesak membuka ruang dialog dengan melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan Papua, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa diminta segera memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua. (*)