Jayapura, Jubi – Perwakilan masyarakat adat Auyu, Hendrikus Woro mengadukan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Papua ke Komisi Informasi Papua, karena menolak permohonan informasi yang diajukan Woro. Dalam pengaduan itu, Woro didampingi Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Hendrikus Woro adalah pemilik hak ulayat yang tengah berupaya menolak kehadiran perusahaan PT Indo Asiana Lestari yang akan membuka perkebunan kelapa sawit seluas 39.000 hektare di Kabupaten Boven Digoel. Woro menyatakan ia mengajukan permohonan informasi kepada DPMPTSP Papua untuk mengetahui izin apa yang dimiliki PT Indo Asiana Lestari.
“Kami menolak karena Perusahaan PT Indo Asiana Lestari berencana menggusur hutan adat, mengganti [hutan adat kami] dengan perkebunan kelapa sawit seluas 39.000 hektare. Permohonan [informasi kepada DPMPTSP itu kami ajukan] untuk mengetahui ketersediaan perizinan perusahaan di wilayah adat [kami],” kata Woro saat memberikan keterangan pers di Kantor Komisi Informasi Papua di Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Selasa (18/10/2022).
Woro akhirnya mengadu ke Komisi Informasi Papua, karena DPMPTSP menjawab permohonannya dengan merinci sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi Woro untuk mendapatkan informasi yang diminta. “Pemohon [informasi] diminta [DPMPTSP] melengkapi syarat yang diketahui kepala kampung, distrik, pemerintah daerah, hingga Lembaga Masyarakat Adat,” katanya.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menilai DPMPTSP Papua telah memberikan syarat yang memberatkan pemilik hak ulayat. Menurutnya, berkas yang disyaratkan DPMPTSP Papua itu yang tidak diketahui oleh institusi pemerintahan. Padahal, seharusnya DPMPTSP Papua melayani permohonan informasi Woro sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU Keterbukaan Informasi Publik).
“Kami menilai syarat itu memberatkan pemohon. UU Keterbukaan Informasi Publik tidak mengatur syarat tersebut. Justru DPMPTSP wajib memberikan informasi [yang diminta pemohon], karena [informasi itu] bersifat terbuka dan wajib tersedia,” katanya.
Gobay mengatakan pihaknya mendampingi Woro untuk mendapat keadilan atas hak informasinya, dengan mengadukan DPMPTSP Papua ke Komisi Informasi Papua. “Tujuan sengketa itu agar Komisi Informasi Papua memutus informasi yang dimohon adalah informasi yang bersifat terbuka sehingga wajib dibuka dan diberikan kepada Hendrikus Woro, dan menyatakan DPMPTSP Papua telah salah [karena menolak permohonan informasi itu],” kata Gobay.
Menurut Gobay, Hendrikus Woro tergabung dalam paralegal cinta tanah adat Auyu dan dtelah menyatakan sikap menolak perkebunan kelapa sawit di wilayah adatnya. Ia menyatakan masyarakat adat Auyu khawatir hutan adat mereka akan tergusur, sehingga masyarakat adat Auyu akan tersingkir dari tanahnya sendiri.
“Hutan sebagai ruang kehidupan yang memberikan pangan, obat-obatan, ekonomi, keyakinan dan nilai sejarah. Hendrikus Woro menduga pemerintah diam-diam telah menerbitkan izin tanpa sepengetahuannya. Ancaman itu semakin nyata pada tahun 2021, [saat] perusahaan mencoba membangun pelabuhan,” katanya.
Staf Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor G Hutapea mengatakan LBH Papua dan Pusaka telah menerima kuasa untuk mendampingi Hendrikus Woro dalam sengketa informasi itu. Hutapea menyatakan pihaknya menduga DPMPTSP Papua menyembunyikan sesuatu, sehingga tidak mau membuka ketersediaan izin usaha perkebunan PT Indo Asiana Lestari.
“Sesuai Pasal 11 ayat 1 huruf b UU Keterbukaan Informasi Publik, informasi publik yang diminta pemohon merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Hal itu juga diatur dalam peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Kami harap Komisi Informasi Papua berpihak kepada masyarakat adat untuk memutus [sengketa] itu,” katanya. (*)