Jayapura, Jubi – Pekikan suara “Papua bukan tanah kosong” menggema di halaman Kantor Bupati Jayapura pada Rabu (7/9/2022) siang. Pekikan itu diikuti dengan nyanyian “Ku Yombe Yombe” yang berarti pulau, tanah itu milik masyarakat adat. Pekikan dan nyanyian itu mengiringi aksi demonstrasi masyarakat adat Grime Nawa yang menuntut pencabutan izin lokasi dan izin lingkungan PT Permata Nusa Mandiri.
Demonstran membawa beragam poster. Ada yang bertuliskan “Tanah adat hutan adat milik masyarakat adat”, “Hutan Papua benteng terakhir”, “Selamatkan lembah Grime Nawa” dan “Segera cabut izin PT Permata Nusa Mandiri”. Tak hanya poster, demonstrasi juga membentangkan baliho berukuran besar bertuliskan “Torang bisa hidup tanpa kebun sawit, tapi kitorang tidak bisa hidup tanpa hutan adat, Bupati Kabupaten Jayapura segera cabut izin lokasi PT. Permata Nusa Mandiri”.
Masyarakat adat Grime Nawa itu memprotes aktivitas PT Permata Nusa Mandiri di atas lahan masyarakat adat. Mereka menggelar demonstrasi sejak pukul 12.00 WP, meminta Bupati Jayapura segera mencabut izin lokasi dan izin lingkungan PT Permata Nusa Mandiri. “Bapak Bupati memperjuangkan masyarakat adat, tapi hari ini masyarakat adat ditindas perusahan sawit,” kata salah satu orator dalam demonstrasi Rabu itu, Elias Hindom.
Para demonstran menyatakan aktivitas perusahan sawit menimbulkan konflik dalam kehidupan masyarakat adat. Perusahaan sawit dinilai merusak hutan dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat.
“Kami butuh pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuh. Masih ada coklat, masih ada sagu, masih ada kopi. Kelapa sawit kami tidak mau, kami tidak mau itu merusak tanah kami. Hari ini kami mau SK pencabutan [izin lokasi dan izin lingkungan] itu,” kata Regina Bay dari Organisasi Perempuan Adat (ORPA) dalam orasinya.
Demonstran meminta Bupati Jayapura menemui mereka dan menjelaskan proses pencabutan izin lokasi dan izin lingkungan PT Permata Nusa Mandiri. Massa menolak kehadiran pejabat lain, termasuk Wakil Bupati Jayapura, Giri Wijayantoro.
“Kami mau Bapak Bupati, tidak ada perwakilan-perwakilan. Sudah cukup lama kami menanti. Hari ini kami minta Bapak Bupati jawab kami. Kami mau Bupati [kasih] kami bawah pulang Surat Keputusan [pencabutan izin lokasi dan izin lingkungan], bawa ke Lembah Grime Nawa [untuk] merayakan bahwa tanah kami sudah kembali kepada kami,” kata Baya.
Simpang siur pencabutan izin
PT Permata Nusa Mandiri mengantongi sejumlah izin, seperti, Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Pelepasan Kawasan Hutan, Izin Lingkungan, dan Hak Guna Usaha. Izin lokasi perusahaan itu tertuang dalam Keputusan Bupati Jayapura Nomor 213 Tahun 2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Tanah untuk Keperluan Perkebunan Sawit seluas 32 ribu hektare. Pada 18 November 2013, Komisi Penilai AMDAL Kabupaten Jayapura menerbitkan rekomendasi Nomor 660.1/05-KOMDALDA.VII/2013 tentang ANDAL, RKL dan RPL Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit.
Rekomendasi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten Jayapura kemudian menjadi dasar bagi Bupati Jayapura untuk mengeluarkan Izin Kelayakan Lingkungan Nomor 34 Tahun 2013 dan Izin Lingkungan Nomor 62 Tahun 2014.
PT Permata Nusa Mandiri juga mengantongi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.680/MENHUT-II/2014 tentang pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi seluas 16.182,48 hektare. Namun, pada 6 Januari 2022 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut konsesi PT Permata Nusa Mandiri itu melalui Surat Keputusan Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
Luas konsesi PT Permata Nusa Mandiri yang dicabut 16.182,48 hektare. Padahal perusahaan ini memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 30.920 hektar yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Papua melalui surat Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Nomor:01/SK.IUP/KS/2014. Konsesi seluas 30.920 hektar itu meliputi 6 Distrik di Kabupaten Jayapura. Diantaranya Distrik Unurum Guay, Distrik Nimbokrang, Distrik Nimborang, Distrik Namblong, Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Kemtuk. Kesimpangsiuran pencabutan izin itulah yang dipersoalkan para demonstran pada Rabu.
Setelah sempat berdebat karena para demonstran ngotot bertemu Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, para demonstran akhirnya memberi kesempatan kepada Wakil Bupati Jayapura, Giri Wijayantoro untuk menjelaskan proses pencabutan izin perusahaan sawit di Kabupaten Jayapura.
Giri menjelaskan izin lokasi dan izin lingkungan yang dikeluarkan untuk PT Permata Nusa Mandiri telah habis masa berlakunya, dan tidak akan diperpanjang. Giri menyatakan seharusnya tidak boleh ada aktivitas yang dilakukan PT Permata Nusa Mandiri di lokasi perkebunannya, karena masih menunggu hasil evaluasi tim kajian.
Giri menyatakan Pemerintah Kabupaten Jayapura mendukung secara penuh pemetaan wilayah adat di lokasi. Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Jayapura bersama Pemerintah Provinsi Papua akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meninjau kembali izin pelepasan kawasan hutan dan Hak Guna Usaha perusahaan. “Ke depan kita akan berjuang bersama masyarakat,” kata Giri.
Usai mendengarkan pernyataan Giri itu, para demonstran kembali mendebat, meminta kejelasan waktu pencabutan izin dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Para demonstran juga meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura segera memberhentikan aktivitas perusahan sawit.
“Pada Juli 2022, perusahan kembali melakukan aktivitas, sampai hari ini. Kita sudah konsolidasi sebanyak 14 kali di kampung-kampung hasilnya masyarakat tidak tahu menahu dengan adanya perusahan itu. Kenapa [Pemerintah Kabupaten Jayapura] tidak pastikan perusahaan stop operasi?” tanya koordinator aksi, Yustus Yekusamon kepada Giri.
Giri menyatakan tidak bisa memberikan jawaban atas tuntutan masyarakat terkait pencabutan izin tersebut. Ia menyatakan hal itu merupakan kebijakan Bupati Jayapura. Namun Giri memastikan aspirasi para demonstran itu akan disampaikan kepada bupati. “Itu kebijakan bukan punya Pak Wakil. Kami terima semua aspirasi. Nanti [ketika] Bupati datang, saya sampaikan [bahwa masyarakat] butuh kepastian,” kata Giri kepada para demonstran.
Akan demo lagi
Koordinator aksi, Yustus Yekusamon menyatakan masyarakat adat akan kembali mendatangi Kantor Bupati Jayapura pada 21 September 2022, untuk memastikan pencabutan izin PT Permata Nusa Mandiri karena dinilai telah melanggar aturan. Ia juga menyatakan masyarakat adat akan turun ke lapangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan sawit itu.
Yekusamon mendesak Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk meminta TNI/Polri menertibkan dan menghentikan operasi PT Permata Nusa Mandiri. “Kita akan terus berjuang untuk mendapatkan kembali hak-hak [masyarakat adat],” katanya.
Ketua Dewan Adat Grime Nawa, Matius Sawa menyatakan masyarakat belum merasa puas dengan penjelasan yang disampaikan Pemerintah Kabupaten Jayapura. Sawa menyatakan harus ada kepastian hukum dalam bentuk surat keputusan pencabutan izin lokasi dan izin lingkungan PT Permata Nusa Mandiri. “Bukan hanya poin-poin, itu hanya sementara saja,” kata Sawa kepada wartawan.
Sawa menyatakan Pemerintah Kabupaten Jayapura harus melakukan apa yang telah disampaikan kepada masyarakat. “Izin lokasi yang dikeluarkan Pemkab Jayapura telah habis. Kata ‘habis’ itu yang kami pastikan, habis yang bagaimana? Harus ada [Surat Keputusan] tertulis, [baru] masyarakat akan puas,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay selaku pendamping hukum masyarakat adat Grime Nawa menyatakan Bupati Jayapura harus menerbitkan Surat Keputusan secara tertulis sebagai dasar hukum pencabutan izin lokasi milik perusahaan. “Setelah dicabut [izin lokasinya], tanah kembali kepada masyarakat adat. Harapannya, [pengembalian tanah kepada masyarakat adat] bisa disatukan dalam Surat Keputusan pencabutan,” kata Gobay kepada Jubi.
Gobay mendesak Pemerintah Kabupaten Jayapura segera membuat surat untuk menegur dan menghentikan aktivitas perusahan tersebut. “Tadi kami sampaikan kepada Pak Wakil Bupati agar segera membuat surat untuk menegur PT Permata Nusa Mandiri untuk tidak melakukan aktivitas ilegal di atas tanah masyarakat adat,” ujarnya.
Sebelumnya pada 8 April 2022 lalu, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menegaskan akan mencabut izin perusahaan sawit bermasalah yang beroperasi di Kabupaten Jayapura. Ia menilai perusahaan bermasalah seperti itu hanya akan merugikan masyarakat adat dan tidak berkontribusi bagi pendapatan daerah.
Hal itu disampaikan Mathius Awoitauw selalu pembicara pada seminar “Mendorong Pemerintah Daerah Untuk Melakukan Review Izin Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Papua” yang diselenggarakan Auriga Nusantara dan Jubi di Kota Jayapura pada 8 April 2022. Awoitauw menyatakan ia akan mengikuti langkah Presiden Joko Widodo yang pada 6 Januari 2022 mencabut izin berbagai perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang bermasalah.
Menurut Awoitauw, setelah Jokowi mengumumkan pencabutan izin berbagai perusahaan bermasalah yang beroperasi di Papua, ia segera memerintahkan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk menelusuri dokumen perizinan berbagai perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Jayapura. “Berbagai izin, [termasuk yang dikeluarkan] Bupati Jayapura sebelumnya, kami verifikasi perusahaannya, untuk ambil langkah seperti yang dilakukan pemerintah pusat,” kata Awoitauw. (*)