Makassar, Jubi – Sidang lanjutan perkara dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Paniai Berdarah di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar pada Kamis (27/10/2022) menghadirkan mantan Komandan Pos Brimob, Eranotali, AKP Yusri Faizal dan mantan Komandan Pos Paskhas TNI AU di Paniai, Mayor Hengky Hermawan. Keduanya mengakui bahwa dalam rangkaian peristiwa Paniai Berdarah yang terjadi di Enarotali pada 8 Desember 2014 mereka sempat melepaskan tembakan peringatan di depan warga.
Perkara dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Paniai Berdarah adalah kasus penyerangan yang diduga dilakukan para prajurit TNI AD terhadap massa yang berunjuk rasa di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, pada 8 Desember 2014. Sejumlah tiga siswa meninggal karena luka tembak, dan seorang siswa lainnya meninggal karena luka tusuk. Sejumlah sepuluh warga lainnya terluka, tujuh diantaranya mengalami luka tembak, dan tiga orang lainnya mengalami luka lebam.
Dalam perkara Paniai Berdarah itu, Mayor (Purn) Isak Sattu menjadi terdakwa tunggal yang diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi. Isak Sattu yang merupakan Perwira Penghubung di Enarotali saat tragedi Paniai Berdarah terjadi didakwa dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman terberat pidana mati, dan hukuman teringan pidana 10 tahun penjara.
Mantan Komandan Pos Brimob, Eranotali, Paniai, AKP Yusri Faizal mengakui memberikan tembakan peringatan di hadapan warga yang berkerumun pasca penyerangan terhadap massa di Lapangan Karel Gobay pada 8 Desember 2014. Yusri Faisal yang saat itu berpangkat Ipda menjelaskan bahwa dirinya memimpin dan mengkoordinir beberapa pos Brimob yang tersebar di Paniai.
Menurut Yusri pos utamanya di Eranotali memiliki 13 pasukan yang lengkap dengan senjata. Yusril juga memimpin dan mengkoordinir pasukan Brimbo yang berada di kediaman Sekretaris Daerah Paniai, kediaman Bupati Paniai, dan kediaman Wakil Bupati Paniai.
Pada 8 Desember 2014 pagi, ketika warga menutup jalan di sekitar Gunung Merah, Yusri sedang mencuci baju di markasnya. Dia tak mengetahui peristiwa pemalangan jalan di depan Pondok Natal Gunung Merah itu.
Yusril baru mengetahui pemalangan itu setelah Wakil Kepala Kepolisian Resor Paniai, Kompol Hanafiah menghubungi lewat radio komunikasi polisi, memerintahkan pasukan Brimob bergerak menuju Lapangan Karel Gobay, dan membantu pengamanan Markas Kepolisian Sektor (Polsek) Paniai Timur. Yusri pun cepat merespon perintah itu, karena menerima informasi awal bahwa Polsek Paniai Timur sudah diserang massa.
Bersama enam anak buahnya, Yusri mengendarai kendaraan roda empat dan memarkirnya di dekat Kantor BRI dan Markas Pasukan Pengamanan Daerah Rawan dari Batalion Infantri (Yonif) Raider 753/Agra Vira Tama. Yusri dan anak buahnya kemudian berjalan kaki sejauh 2 kilometer, menuju Lapangan Karel Gobay.
Yusri menjelaskan dia dan anak buahnya berpakaian lengkap, tidak membawa tameng, namun membawa senapan jenis AK-101. Dia mengaku, jenis senjata AK-101 yang dibawahnya bersama pasukan berisi 30 peluru, terdiri dari tiga peluru hampa dan 27 peluru karet. Yusri menyatakan saat itu ia dan anak buahnya tidak membawa peluru tajam.
Namun Yusri menyatakan saat penyerangan terhadap massa pengunjuk rasa dalam tragedi Paniai Berdarah terjadi, ia dan pasukannya belum tiba di Lapangan Karel Gobay. Saat pasukannya tiba di Lapangan Karel Gobay, Yusri melihat massa sudah tercerai-berai. Yusri juga melihat beberapa warga masih berkumpul dan menonton suasana Lapangan Karel Gobay. Dia meminta warga membubarkan diri, namun permintaan Yusri itu tidak diindahkan warga.
Yusri lalu mengangkat senapan AK-101 yang dibawanya, dan menembakkannya ke arah atas. “Saya tembak dua kali,” katanya.
Hakim anggota, Siti Noor Laila merasa heran mendengar kesaksian Yusri. Baginya, tak seharusnya aparat keamanan memberikan tembakan peringatan pada warga yang tak melakukan apa-apa. “Orang nonton, kenapa harus ada tembakan peringatan?” tanyanya.
“Itu hanya untuk meminta masyarakat yang nonton membubarkan diri dan mundur dari lapangan,” jawab Yusri.
“Apakah massa itu ada lakukan perlawanan?” tanya Siti.
“Tidak, Ibu.”
Menjelang pukul 11.00 WP, Yusri sudah berada di halaman Markas Polsek Paniai Timur. Dari halaman polsek, ia menyaksikan beberapa orang menggotong korban masuk ke Lapangan Karel Gobay. Saat itu, Yusri tak mendekat, sehingga dia tidak tahu apakah korban yang digotong warga itu meninggal atau tidak.
Yusri menjelaskan pasukan Brimob yang ditempatkan di Paniai mendapatkan tugas pengamanan daerah rawan. Penempatannya melalui surat perintah Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua. Dalam melakukan tugasnya, Yusri berkoordinasi dengan Polres Paniai. Menurut Yusri, istilah penempatan sementara seperti itu adalah Bawah Kendali Operasi (BKO). Secara umum, status BKO kesatuan ke sebuah wilayah biasanya berlangsung selama empat bulan, namun pasukan Yusri ditempatkan di Paniai hingga delapan bulan.
Tidak pernah diperiksa TGPF
Komandan Kompi (Danki) Yonif Raider 753/Agra Vira Tama, Mayor Infantri, Prasenta Imanuel Bangun yang menjadi saksi perkara Paniai Berdarah pada sidang 12 Oktober 2022 lalu menyatakan pasukan Brimob sudah melepaskan tembakan peringatan sejak mereka memarkir kendaraannya di dekat Kantor BRI. Yusri membantah kesaksian Bangun itu, dan mengatakan sepanjang rangkaian peristiwa Paniai Berdarah pasukannya tak pernah bertemu pasukan Yonif Raider 753/Agra Vira Tama.
Yusri menegaskan bahwa ia dan anak buahnya memilih berjalan kaki dari dekat Kantor BRI untuk mencoba berkomunikasi dengan massa yang berunjuk rasa. Yusri menyatakan saat ia dan anak buahnya tengah berjalan kaki, mereka justru mendengar suara tembakan dari arah Lapangan Karel Gobay.
Mendengar itu, Yusri berjalan semakin cepat, dan sekitar 10 menit kemudian mereka tiba di Lapangan Karel Gobay. Di sanalah Yusri melepaskan dua tembakan peringatan.
Beberapa saat kemudian, Yusri menerima perintah untuk menggeser pasukannya berjaga di Polsek Paniai Timur. Menjelang malam, pasukan kepolisian dari Nabire tiba di Enarotali. “Setelah aksi di lapangan, sampai beberapa hari dan selanjutnya keadaan sudah kondusif, aman,” kata Yusri.
Pada 10 Desember 2014, tim internal kepolisian melakukan pemeriksaan pada anggota Polri yang berada dalam aksi. Yusri menjelaskan pasukan Brimob yang dipimpinnya tidak diperiksa tim itu.
“Apakah pasukan saudara, pernah diperiksa oleh Provost Polri?” tanya majelis hakim.
“Tidak pernah pak. Siap, tidak ada,” jawabnya.
Pasukan Yusri juga tidak pernah diperiksa Tim Gabungan TNI-Polri Pencari Fakta (TGPF) Paniai Berdarah bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang bekerja pada Mei hingga Juli 2015.
Ketua TGPF Paniai Berdarah, Komjen Ari Dono Sukmanto saat menjadi saksi sidang perkara Paniai Berdarah pada 13 Oktober 2022 mengatakan waktu kerja tim yang singkat membuat kerja tim tidak tuntas. Menurut Ari Dono, pasukan Brimob baru berada di Lapangan Karel Gobay pada akhir rangkaian peristiwa Paniai Berdarah. Berdasarkan fakta itu, TGPF merekomendasikan pemeriksaan lanjutan kepada semua kesatuan yang berada di Paniai, dan terlibat dalam peristiwa 8 Desember 2014.
Tak ada pembekalan mengenai HAM
Saksi lain yang dihadirkan dalam sidang kasus Paniai Berdarah pada Kamis adalah mantan Komandan Pos Paskhas TNI AU di Paniai, Mayor Hengky Hermawan. Dalam kesaksiannya, Hengky mengetahui peristiwa pemalangan di Gunung Merah saat ia bersama temannya berkendara menuju Madi pada 8 Desember 2014 pagi, untuk menghadiri undangan Pemerintah Kabupaten Paniai.
Di tengah perjalanan, mereka tercegat. Hengky yang saat itu berpakaian lengkap membawa sebuah senjata api genggam (pistol), sementara rekannya membawa senapan jenis SS-1. Ketika melihat massa bergerak mengarah ke Lapangan Karel Gobay, Hengky bergerak menuju Pos Paskhas TNI AU di Bandara Paniai yang berjarak sekitar 200 meter dari Lapangan Karel Gobay.
Hengky memerintahkan 15 anggota Paskhas TNI AU untuk berjaga-jaga di Bandara Paniai. Menurutnya, masing-masing prajurit Paskhas TNI AU sudah memegang senjata api, namun tidak terlibat dalam penyerangan massa pada tragedi Paniai Berdarah di Lapangan Karel Gobay.
Sekitar pukul 09.30, Hengky mendengar suara tembakan dari arah lapangan. Ada yang single shot atau tembakan tunggal. Ada pula tembakan berupa rentetan.
Beberapa warga kemudian berlarian, beberapa melintasi di depan pos jaga bandara. Hengky bertemu beberapa warga yang hanya menjadi penonton demonstrasi itu. Mereka ikut berlari melintas di depan pos jaga Hengky. “Warga bilang ke kami, kalau Koramil dan Polsek sudah diserang,” katanya.
Tak berselang lama, ia melihat massa berlari ke arah bandara. Hengky berusaha menghalau massa agar tak mendekati bandara. “Kami lakukan tembakan peringatan. Ada 20 peluru yang ditembakan, semua ke arah atas,” katanya.
Saat majelis hakim meminta penjelasan mengenai tembakan peringatan prajurit Paskhas TNI AU itu, Hengky menjelaskan pihaknya menduga massa akan menyerang Pos Paskhas TNI AU, karena sebelumnya massa telah menyerang Markas Polsek dan Markas Koramil Enarotali. “Asumsi saya, kemudian akan merangsek masuk bandara. Massa tahu kalau pos kami ada di bandara,” katanya.
Bagi majelis hakim, tembakan peringatan kepada massa yang tidak melakukan kekerasan atau membahayakan tidak perlu dilakukan. Majelis hakim menanyakan apakah pasukan Paskhas mendapatkan pembekalan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM).
“Apakah sebelum ke Paniai, pasukan Paskhas diberi pembekalan dalam penanganan massa, atau pembekalan mengenai HAM?,” tanya majelis hakim.
“Kami hanya dibekali kondisi wilayah sebagai daerah dengan titik rawan. Untuk soal HAM belum pernah,” kata Hengky. (*)