Jayapura, Jubi – Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Direktorat Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria mengatakan, pihaknya sedang menunggu rekomendasi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua, terkait pencabutan izin perusahaan sawit yang diduga melanggar hukum.
“Masih pemetaan oleh provinsi dan kabupaten di Papua, (kami) menunggu hasil assessment provinsi. Rencana Juli akhir rapat monev,” kata Dian Patria melalui pesan WhatsApp kepada Jubi di Jayapura, Selasa (26/4/2022).
Komisi antirasuah ini juga masih menunggu kajian dan rekomendasi Provinsi Papua perihal IUP (Izin Usaha Perkebunan), yang direkomendasikan untuk diberi sanksi atau izinnya dicabut.
Dia mengatakan, jika rekomendasinya final, maka KPK mendukung pemerintah daerah untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi untuk percepatan tindak lanjut rekomendasi seperti pencabutan izin.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan (Distan) Provinsi Papua, Karel Yarangga belum berkomentar ketika dikonfirmasi Jubi, Selasa siang ,26 April 2022 melalui seluler tentang perkembangan rekomendasi pihaknya kepada kepala-kepala daerah untuk mencabut perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar hukum.
Namun, Distan bersama Bappeda Papua sudah mereview izin perusahaan sawit pada 2019 dan 2020. Alhasil ditemukan perusahaan yang izinnya harus dicabut, sedangkan beberapa perusahaan lainnya masih diklarifikasi, terkait pejabat daerah yang memberikan izin dan cakupan luas lahannya. Ada tiga kabupaten yang terpaksa harus mencabut izin perusahaan sawit yang beroperasi di wilayahnya, yaitu, Kabupaten Sarmi, Keerom dan Nabire.
Masyarakat adat Lembah Grime Nawa dan Koalisi Selamatkan Lembah Grime-Nawa, yang terdiri atas PT PPMA, Walhi Papua, Jerat Papua, LBH Papua, DAS Namblong, ORPA Namblong, DAS Oktim, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, Auriga Nusantara, dan TIKI Jaringan HAM Perempuan Papua menemui Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, Solaiyen Murin Tabuni, Senin (25/4/2021). Pertemuan itu dilakukan untuk menuntut pencabutan izin usaha perkebunan PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM) di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura.
Pasalnya perusahaan tersebut sudah mendapat izin di seluruh tanah adat dari 7 suku dan kampung-kampung adat di Lembah Grime.
Ketua Dewan Adat Suku Namblong, Mathias Sawa tidak mengetahui bahwa ada perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah adatnya. Artinya, ada perusahaan sawit yang beroperasi tanpa sepengetahuan lembaga dan masyarakat adat.
“Kami berpikir perusahaan hanya akan bekerja di areal dua marga saja, karena mereka telah setuju hutannya digunakan perusahaan. Kenyataannya pemerintah justru memberikan izin di atas tanah orang lain yang tidak setuju. Kondisi ini akan menyebabkan konflik di antara masyarakat adat, sehingga tuntutan pencabutan izin-izin kami sampaikan,” kata Mathias Sawa melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Selasa (26/4/2022).
Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua, Solaiyen Murin Tabuni dalam keterangan tertulis yang sama mengatakan, pihaknya telah memperoleh surat pencabutan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) awal 2022. Diketahui ada 31 perusahaan di Provinsi Papua yang izin pelepasan kawasan hutannya dicabut, salah satunya adalah PT PNM. Karena izin kawasan pelepasan kawasan hutan telah dicabut, maka dengan sendirinya izin-izin lainnya tidak berlaku.
“Kami telah berkomunikasi dengan KLHK, menunggu tindakan selanjutnya. Jika perusahaan terus membuka hutan, itu tindakan ilegal, masyarakat minta stop saja. Izin PT Permata Nusa Mandiri sudah tidak berlaku lagi,” kata Tabuni. (*)