Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyatakan konflik bersenjata yang sudah berlangsung lama di Papua hanya dapat diselesaikan melalui dialog. Menurutnya, dialog dengan berbagai pihak dalam konflik bersenjata di Papua itu harus dilakukan secara berjenjang.
Hal itu disampaikan Ramandey sebagai pembicara dalam diskusi “Pemekaran dan Konflik Bersenjata di Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua secara daring pada Jumat (15/7/2022). Ramandey menjelaskan dialog merupakan cara atau mekanisme penyelesaian berbagai masalah dan konflik di Papua, termasuk konflik bersenjata.
Ramandey menyatakan pihak yang terlibat dalam konflik di Papua, baik itu kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun kelompok politik harus menerima dialog sebagai upaya penyelesaikan konflik di Papua. “Tidak bisa menolak,” ujarnya.
Ramandey menyatakan dialog harus dibangun atau melalui tahapan berjenjang di dalam negeri, tidak bisa langsung dibawa ke forum internasional. “Tidak bisa [dialog jika para pihak malah menyatakan] ‘kami tidak mau pemerintah Indonesia, kami mau ke mekanisme internasional’. Itu tidak bisa. Dialog harus dibangun secara berjenjang karena itu mekanismenya. Tidak bisa [secara tiba-tiba membuat] bypass atau jalan pintas langsung [ke dunia internasional],” kata Ramandey.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf Kawer menyatakan Negara, dalam hal ini pemerintah pusat, harus bisa berani mendorong dialog sebagai solusi penyelesaian konflik di Papua.
“Perlu langkah berani dari Negara untuk melakukan dialog, karena itu langkah utama yang harus ditempuh negara,” ujarnya.
Kawer menjelaskan penyelesaian konflik di Papua harus didahului dengan pelurusan sejarah Papua dan penyelesaian hukum atas berbagai pelanggaran HAM terhadap Orang Asli Papua. Setelah itu, para pihak yang terlibat konflik baru bisa membicarakan masalah kesejahteraan, diskriminasi, dan marjinalisasi terhadap Orang Asli Papua.
Kawer menyampaikan ada mekanisme Hukum Internasional yang bisa ditempuh jika Negara Indonesia tidak berani atau tidak mau menyelesaikan masalah konflik di Papua. Kawer menyatakan jika berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua terus diabaikan, kasus itu dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) sesuai ketentuan Statuta Roma.
Hal itu dinilai Kawer akan bisa memutus praktik impunitas yang dijalankan Negara Indonesia terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Papua. “Kita bisa dorong sama-sama Statuta Roma itu [diratifikasi Indonesia]. Kalau Negara tidak mau atau tidak mampu menyelesaikan persoalan di dalam negeri, maka persoalan itu dapat dibawa ke luar, [Mahkamah Pidana Internasional]. Kalau itu ada, ke depan kasus pelanggaran HAM di Papua bisa diselesaikan,” katanya. (*)