Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua menyatakan tetap ingin memeriksa 10 prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang yang diduga melakukan menjemput dan menangkap Bruno Amenim Kimko, warga sipil Mappi yang meninggal setelah dianiaya di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi pada 30 Agustus 2022 lalu. Hal itu dinyatakan Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey melalui aplikasi pesan WhatsApp pada Jumat (23/9/2022).
Sebelumnya, tim Komnas HAM Perwakilan Papua gagal memeriksa sejumlah prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang saat melakukan investigasi di Merauke pada 16 – 17 September 2022, karena 10 prajurit itu “mogok bicara”. Ramandey menyatakan kini pihaknya masih menunggu Polisi Militer di Merauke selesai memeriksa para prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang.
“Kami akan panggil mereka lagi. Tapi sekarang mereka masih menjalani pemeriksaan. Denpom,” kata Ramandey.
Investigasi Komnas HAM Perwakilan Papua itu terkait kasus penganiayaan dua orang warga sipil terjadi di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi, pada 30 Agustus 2022. Penganiayaan itu menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun terluka. Komnas HAM Papua juga menemukan dugaan bahwa para prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang di Pos Bade juga menganiaya warga sipil bernama Amsal Pius Yimsimen, Korbanius Yamin, Lodefius Tikamtahae dan Saferius Yame pada 28 Agustus 2022.
Ramandey menjelaskan pada 16 – 17 September 2022 tim Komnas HAM Papua tidak dapat memeriksa 10 prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang yang diduga yang menjemput Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun dan membawa keduanya ke Pos Bade.
“10 anggota Yonif Raider 600/Modang yang menjemput korban, dan diduga terlibat aktif melakukan penyiksaan, berkeberatan untuk memberi keterangan kepada Komnas HAM. Alasan mereka sudah memberikan keterangan kepada Denpom. Setelah kami cek di Denpom mereka semua masih berstatus terperiksa. Itu artinya ada yang belum selesai di minta keterangan,” kata Ramandey.
Menurut Ramandey, pihaknya akan bersurat kepada Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih agar dapat segera memeriksa 10 prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang itu, sekaligus meneruskan hasil investigasi Komnas HAM Papua pada 16 – 17 September 2022.
“Kami rencanakan awal bulan Oktober [akan melakukan pemeriksaan terhadap mereka. Tapi] kami akan bersurat ke Pangdam XVII/Cenderawasih terkait hasil penyelidikan terdahulu,” ujarnya.
Menurut Ramandey tindakan 10 prajurit TNI yang “mogok bicara” menunjukkan niat untuk menyembunyikan tindakan mereka. “Apakah ada kesepakatan di antara 10 anggota itu, apakah mereka yang bersepakat, atau kemudian mereka diarahkan? Baru pertama kali kami menemukan anggota TNI tidak bisa bersedia memberikan keterangan,” ujarnya.
Ramandey menyatakan Presiden, Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Pangdam, hingga Danrem 174/Merauke telah memerintahkan agar kasus penganiayaan di Pos Bade diusut hingga tuntas. Menurut Ramandey, penolakan 10 prajurit untuk memberikan keterangan menunjukkan ada pembangkangan terhadap perintah atasan mereka. “Pertanyaan kami, kenapa bersama-sama sepuluh orang tidak mau memberikan keterangan?” kata Ramandey.
Komnas HAM Perwakilan Papua mendesak Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Pangdam XVII Cenderawasih untuk mengevaluasi penugasan Yonif Raider 600/ Modang yang berasal dari Komando Daerah Militer VI/Mulawarman ke Papua. “Kami mendesak Panglima dan Kepala Staf Angkatan Darat, karena pengiriman satgas itu kebijakan Mabes TNI melalui Panglima TNI dan Pangdam XVII/Cenderawasih sebagai pengguna,” kata Ramandey.
Komnas HAM Papua juga meminta proses hukum kepada Komandan Satgas Yonif Raider 600/Modang, Komandan Pos Bade, Wakil Komandan Pos Bade dan para prajurit yang terlibat penganiayaan itu dilakukan di Papua. “Penegakan hukum terhadap seluruh anggota, apakah itu 10, apakah itu 18, apakah itu 22 prajurit, harus dilakukan di wilayah Kodam XVII/Cenderawasih. Sampai sekarang status mereka belum ditetapkan sebagai tersangka. Status mereka masih terperiksa,” ujar Ramandey. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!