Manokwari, Jubi – Bermodalkan jarum dan benang, Uge, Mika dan Oni Kiriway tiga bersaudara asal Teluk Wondama Papua Barat mengais rejeki melalui usaha sol sepatu dan sendal di pintu masuk sebelah kanan Pasar Wosi Manokwari.
Uge, pria bernama lengkap Yulius Kiriway nampak menggunakan kaos singlet, sembari menusuk jarum mengikuti alur sendal warna merah muda. Keringatnya bercucuran di tengah hiruk pikuk dan lalu lalang warga pasar yang melintasi pintu masuk.
Ia kerap melayani pelanggan yang datang membawa sepatu atau sendal di tengah kesibukan menjahit sendal ukuran anak lima tahun saat ditemui, Sabtu (30/4/2022).
“Saya bersama Kaka dan adik saya sudah menggeluti pekerjaan ini sejak lama. Saya sendiri sekitar tahun 2001, sedangkan Kaka saya yang lebih dulu setelah lepas dari pekerjaannya sebagai helper sensor [chainsaw] kayu. Ia jadi perintis bagi kami adik-adiknya,” tutur Uge
Setiap warga yang melintas kerap menyapa dia dengan sebutan Ompai. Sapaan bagi pria yang berasal dari Teluk Wondama. Sesekali ia melirik sembari melempar tersenyum.
Ayah tiga Anak itu juga bekerja sebagai security di Kantor Lembaga Pengembangan Pesta Paduan Suara Gerejawi di Wosi. Ia bisa membagi waktu, ketika lepas tugas sebagai security.
“Kalau tugas jaga pada malam, siangnya saya lanjut membuka lapak sol sepatu, tentu istirahat sejak barang satu jam baru saya lanjut ke Pasar Wosi,” tuturnya.
Menurutnya menjadi tukang sol sepatu dan sendal seperti ini mungkin bagi warga dari luar Papua sudah merupakan hal lumrah, namun tidak bagi Orang Asli Papua seperti dirinya. Ia memang awalnya menggeluti pekerjaan ini sebagai sampingan, meski kadang merasa kurang nyaman apalagi di Manokwari yang masih merupakan tanah tumpah darah.
“Seiring berjalan waktu saya merasa bahwa kita punya talenta, bisa melakukan hal seperti ini. Tetapi apakah kita mau atau tidak! Atau jangan-jangan kita malu karena kita dimanjakan di daerah kita sendiri,” katanya sembari tangannya tetap menusik jarum di sendal.
Lebih dari satu jam, ia terus didatangi pelanggan sekira tiga hingga empat orang.
Setelah sekian tahun menjadi tukang sol sepatu, lambat laun ia mulai terbiasa. Talenta yang dimiliki berbuah hasil, meski hanya sedikit membantu ekonomi rumah tangganya.
“Yaa Puji Tuhan, dengan hasil kerja sebagai tukang sol sepatu dan sendal, saya bisa membantu keuangan di rumah. Artinya dapat menghidupi keluarga bahkan menyekolahkan anak-anak,” tuturnya.
Di samping lapak Uge, nampak seorang pria yang sudah lanjut usia. Dia juga menggeluti pekerjaan yang sama sebagai tukang sol sepatu.
“Saya sudah lama menekuni pekerjaan ini setelah bekerja sekian tahun sebagai helper sensor,” kata Mika Kiriway (60).
Lapak mereka saling berdekatan, hanya berjarak sekira tiga meter. Mika sebagai sang kakak, tak hanya menekuni sol sepatu dan sendal, ia juga kerap mengasah parang menggunakan gerinda, sebagai sampingan tambahan penghasilan.
Berbeda dengan Uge, Mika tidak punya pekerjaan sampingan selain menjadi tukang sol sepatu. Ia sesekali membuang penat dengan mencari ikan di laut, kala jenuh terus menerus berada di pasar.
“Pekerjaan saya cuma sol sepatu. Kalau penat saya bisa melaut mencari ikan hanya sekadar makan, jika dapat lebih saya jual,” kata Mika Kiriway.
Sebagai Orang Asli Papua, ia tekun menggeluti pekerjaannya, sebab menurutnya tidak ada yang dapat membantu penghidupan rumah tangga selain dirinya sendiri.
“Kalau saya rajin saya dan keluarga bisa makan, tapi kalau malas mau harap siapa yang kasih uang,” tutur pria yang telah memutih rambutnya itu.
Pendapatan Tukang Sol Sepatu OAP
Uge tidak menampik berkat yang ia dapat dari menekuni pekerjaan sebagai tukang sol sepatu, dapat meraup keuntungan hingga ratusan ribu setiap harinya.
Seperti biasanya di Kota Manokwari, upah sepasang sepatu orang dewasa dihargai Rp50.000, berbeda dengan sepatu anak-anak yang dihargai Rp30.000.
“Kalau anak-anak saya memang beri kompensasi, sebab mereka kan sekolah. Saya juga punya anak, sehingga tidak tega memberi harga yang sama dengan sepatu atau sendal orang dewasa,” ucapnya.
Meski demikian, ia kerap mengakali beberapa orderan yang diterima, misalnya untuk sepatu atau sendal hak tinggi milik perempuan.
“Kalau saya biasa terima orderan sepatu atau hak tinggi kadang saya akalin, sebab agak sulit dan penuh hati-hati jangan sampai patah,” ucapnya.
Membayar Retribusi Pasar
Sebagaimana pelaku usaha lain yang berjualan di pasar, ketiga bersaudara asal Kabupaten Wondama itu patuh membayar retribusi pasar.
“Kalau retribusi pasar kita patuh, sebab itu membangun daerah. Apalagi kita membuka usaha di pasar milik Pemerintah,” tutur Uge.
Jauh dari Bantuan Pemerintah
Sejak melakoni pekerjaan, Uge, Mika dan Oni sebagai pelaku usaha perlu mendapat perhatian Pemerintah, terutama bantuan dana atau peralatan kerja.
Namun bantuan Pemerintah Daerah seakan jauh dari mereka, selama ini mereka hanya mengandalkan modal sendiri.
“Selama ini saya tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah, entah itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten,” tutur Uge.
Meski demikian, bantuan pemerintah pernah dirasakan oleh kakaknya, Mika. Dia menyebut Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari pernah memberi bantuan uang Tunai Rp1,5 juta dan Alat kerja berupa jarum dan benang.
“Sudah lama, saya sudah lupa tapi pernah saya terima bantuan dari Pemkab Manokwari,” ucap Mika. (*)
Artikel ini telah tayang di Jubi TV dengan judul Kisah tiga ‘Ompai’ bersaudara, tukang sol sepatu di Pasar Wosi